Senin, 06 April 2009

kESejAHteRAan s0SiaL aN@k


Khofidlotur Rofiah
Mahasiswi PLB UNESA 07





anak-anak...........mereka adalah anugrah teristimewa

Setiap anak terlahir dengan kelebihannya masing-masing. Orangtua yang mengatakan bahwa anak mereka adalah tidak memiliki keistimewaan, itu tentu tidak benar. Orangtua seperti itu berarti belum mampu melihatnya. Sebab, keistimewaan anak bukan hanya dilihat dari sisi kemampuan akademiknya saja. Tidak selamanya anak istimewa itu harus pintar matematika, bahasa inggris, atau ilmu kimia. Anak yang senang menyayangi binatang, anak yang patuh, atau anak yang selalu menebar senyum sehingga mampu menyejukkan setiap orang yang memandangnya juga adalah termasuk istimewa.

Oleh karena itu, apabila orangtua belum menemukan keistimewaan dari diri anak maka cobalah untuk membuka mata lebih lebar, memasang telinga lebih tajam, dan merasakan dengan hati supaya orangtua dapat dengan segera menemukan keistimewaan yang terdapat dalam diri anak tersebut. Sebagai upaya orangtua menemukan sesuatu yang istimewa dari diri setiap anak, maka cobalah perhatikan masing-masing anak tersebut dari sisi lainnya. Misalnya, dari kemampuannya bersosialisasi, dari keramah-tamahannya, dari sikapnya yang rajin dan selalu ceria, atau dari kepribadiannya yang selalu bertanggung jawab dan penuh disiplin

Jika orangtua telah menemukan keistimewaan tersebut. Maka, berbagilah dengan anak. Katakan dengn tulus kepada anak bahwa ia adalah memang istimewa dan sangat berarti bagi orangtua. Selain itu, orangtua juga dapat mengungkapkan perasaan bangga kepada anak dengan memujinya sesuai dengan apa yang telah ia lakukan. Misalnya, ’Kamu memang anak yang rajin, setiap hari selalu membereskan dan membersihkan kamar tidurmu’. Setelah memuji dengan cara verbal, orangtua dapat mengungkapkan rasa bangga tersebut kepada anak dengan cara lain. Yaitu, memberikan senyuman, pelukan hangat, atau kecupan di kepalanya

namun...bagaimana halnya dengan anak-anak berkebutuhan khusus??

Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam ABK antara lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu, SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.

A. Tunanetra

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktifitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang terbuat dari alumunium)

B. Tunarungu

Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran adalah: Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB), Gangguan pendengaran ringan(41-55dB), Gangguan pendengaran sedang(56-70dB), Gangguan pendengaran berat(71-90dB), Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB).

Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.

C. Tunagrahita

Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku yang muncul dalam masa perkembangan. klasifikasi tunagrahita berdasarkan pada tingkatan IQ. Tunagrahita ringan (IQ : 51-70), Tunagrahita sedang (IQ : 36-51), Tunagrahita berat (IQ : 20-35), Tunagrahita sangat berat (IQ dibawah 20).

Pembelajaran bagi individu tunagrahita lebih di titik beratkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi.

D. Tunadaksa

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktifitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

E. Tunalaras

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.

F. Kesulitan belajar

Adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis yang dapat mempengaruhi kemampuan berfikir, membaca, berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang dan keterlambatan perkembangan konsep.


lalu apa sih makna dari kesejahteraan sosial?

“Kesejahteraan sosial” (social welfare) memiliki arti yang berwayuh wajah. Ia dapatdidefinisikan dari berbagai sudut pandang (Suharto, 2007a; 2007b). Kesejahteraansosial dapat diartikan sebagai pendekatan atau kegiatan yang terorganisir dalam bidangpembangunan sosial. Dalam konteks ini, kesejahteraan sosial biasanya merujuk padaarena atau field of practice tempat berkiprah berbagai profesi kemanusiaan, termasukpekerja sosial, dokter, perawat, guru, psikolog, dan psikiater. Di negara-negara maju,kesejahteraan sosial sangat identik dengan jaminan sosial (social security), sepertipublic assistance dan social insurance, yang diselenggarakan negara terutama untukkaum yang kurang beruntung (disadvantaged groups). Di Indonesia, kesejahteraansosial sering dipandang sebagai tujuan atau kondisi kehidupan yang sejahtera, yakniterpenuhinya kebutuhan pokok manusia (Suharto, 2006a; 2006b).Kesejahteraan sosial bisa dipandang sebagai ilmu atau disiplin akademis yangmempelajari kebijakan sosial, pekerjaan sosial, dan program-program pelayanan sosial.Seperti halnya sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, politik, studi pembangunan,dan pekerjaan sosial, ilmu kesejahteraan sosial berupaya mengembangkan basispengetahuannya untuk mengidentifikasi masalah sosial, penyebabnya dan strategipenanggulangannya. Pada masa awal perkembangannya, kesejahteraan sosial memiliki basis ilmu yang dikembangkan dari berbagi disiplin ilmu sosial lain, terutama filsafat, sosiologi, psikologi, antropologi, politik dan ekonomi. Belakangan ini, bidang studi kesejahteraan sosial telah sangat aktif menyelenggarakan berbagai proyek penelitian dan pengembangan keilmuannya yang semakin spesifik.

“Kesejahteraan sosial” (social welfare) memiliki arti yang berwayuh wajah. Ia dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang (Suharto, 2007a; 2007b). Kesejahteraansosial dapat diartikan sebagai pendekatan atau kegiatan yang terorganisir dalam bidang pembangunan sosial. Dalam konteks ini, kesejahteraan sosial biasanya merujuk pada arena atau field of practice tempat berkiprah berbagai profesi kemanusiaan, termasuk pekerja sosial, dokter, perawat, guru, psikolog, dan psikiater. Di negara-negara maju,kesejahteraan sosial sangat identik dengan jaminan sosial (social security), seperti public assistance dan social insurance, yang diselenggarakan negara terutama untuk kaum yang kurang beruntung (disadvantaged groups). Di Indonesia, kesejahteraansosial sering dipandang sebagai tujuan atau kondisi kehidupan yang sejahtera, yakni terpenuhinya kebutuhan pokok manusia (Suharto, 2006a; 2006b).Kesejahteraan sosial bisa dipandang sebagai ilmu atau disiplin akademis yang mempelajari kebijakan sosial, pekerjaan sosial, dan program-program pelayanan sosial.Seperti halnya sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, politik, studi pembangunan,dan pekerjaan sosial, ilmu kesejahteraan sosial berupaya mengembangkan basis pengetahuannya untuk mengidentifikasi masalah sosial, penyebabnya dan strategi penanggulangannya. Pada masa awal perkembangannya, kesejahteraan sosial memiliki basis ilmu yang dikembangkan dari berbagi disiplin ilmu sosial lain, terutama filsafat, sosiologi, psikologi, antropologi, politik dan ekonomi. Belakangan ini, bidang studi kesejahteraan sosial telah sangat aktif menyelenggarakan berbagai proyek penelitian dan pengembangan keilmuannya yang semakin spesifik.



lalu bagaimana cara kita membantu untuk tercapainya kesejahteraan sosial hidup anak ?

Ikatan Kasih Sayang, Komunikasi dan Pembelajaran Termediasi: Sebuah Perspektif Holistik tentang Pengasuhan, Perkembangan dan Pembelajaran
Ikatan kasih sayang, sebagai satu istilah yang terkait dengan kontak, berasal dari teori kasih sayang (attachment) dari John Bowlby (Bowlby 1969, 1988). Antara lain, ini mengacu pada “perilaku kasih sayang” pada bayi dalam bentuk kontak mata, senyuman, tangisan, peniruan dan gerakan sebagai sebuah dasar yang penting untuk menstimulasi perilaku asuh dari orang tua dan menciptakan sebuah ikatan emosional satu sama lain.

Tampak jelas bahwa anak-anak cenderung untuk membangun hubungan psikososial dengan orang tuanya sejak lahir. Kecenderungan pada anak ini diekspresikan dalam pola perilakunya, yang disebutkan oleh Bowlby sebagai “perilaku kasih sayang”, sebagaimana dijelaskan di atas. Sebuah aspek penting dari kasih sayang dari anak, kalau ingin dibina, adalah hubungan positif dengan pengasuhnya. Pengasuh harus seseorang yang berkarakter lembut, hangat dan memberikan rasa aman – sebuah perasaan yang sering kita gambarkan sebagai cinta. Oleh karena itu, pengalaman ini terkait dengan interaksi sensitif. Perasaan cinta dikembangkan sebagai sebuah aspek penting dari pengalaman dengan orang tua, yang merupakan dasar bagi ikatan cinta antara orang tua dan anak. Perasaan cinta harus dianggap sebagai aspek penting dari ikatan kasih sayang yang kokoh.

Di antara ekspresi emosional yang pertama dapat dikenali pada bayi adalah menangis dan gerakan kegelisahan sebagai ekspresi ketidaknyamanan, serta bermacam-macam isyarat suara, kontak mata, dan akhirnya senyum sebagai ekspresi senang. Sejumlah nuansa dan ekspresi lainnya muncul pada bulan-bulan pertama, terkait dengan stabilitas dan kematangan fisik serta pengalaman kontak dan interaksi dengan sesama manusia. Akhirnya ini menjadi sebuah fondasi untuk cara mengekspresikan perasaan yang mendampingi pengalaman yang lebih kompleks lagi dengan orang tua dan pengasuh. Prakondisi biologis yang digabungkan dengan pengalaman yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan sekitar, yang sudah terjadi pada tahun pertama kehidupan, menciptakan pola dasar untuk kontak dan interaksi.
Dasar yang sangat penting untuk terciptanya perkembangan hubungan sosial dini tampaknya adalah pengalaman saling mencintai dan rasa aman. Tampaknya perasaan positif ini, atau ikatan cinta, yang membuat ikatan kasih sayang orang tua-anak berlangsung seumur hidup.

Jika kita menggambarkan “perilaku ikatan kasih sayang” hanya sebagai sebuah sistem biologis untuk menjamin perlakuan dan kelangsungan hidup, maka akan lebih mudah untuk mengabaikan perasaan positif yang menyertai interaksi yang bermakna ini, yang merupakan kekuatan yang mendorong ikatan kasih sayang. Meskipun kini terdapat kesepakatan umum bahwa perkembangan ikatan kasih sayang itu didasarkan atas kecenderungan biologis pada anak maupun orang tua, tetapi masih banyak dari fenomena ini yang belum dapat dijelaskan. Tampaknya terdapat perasaan keterikatan psikobiologis yang bersifat alami, khususnya antara anak dan ibu, dan sudah ditunjukkan pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi. Sebuah contoh ikatan psikobiologis ini dapat ditemukan dalam pengalaman dengan menggunakan “metode kangguru” bagi anak-anak yang terlahir dengan berat badan yang rendah. Anak-anak dengan berat badan rendah mudah kehilangan kehangatan tubuh karena mereka mempunyai bidang permukaan kulit yang relatif luas dibanding berat badannya. Bila anak ini dipangku oleh ibunya dan diletakkan pada payudara di bawah baju ibunya, dapat diamati bahwa terdapat sinkronisasi antara temperatur tubuh anak dan ibu. Pada poin ini, temperatur ibu turun sampai mencapai level normal (Luddington-Hoe, Hadded & Anderso 1989, dikutip dalam Anderson 1995). Contoh sinkronisasi biologis ini menggambarkan hubungan yang sangat intim yang secara potensial terjadi antara ibu dan anak sejak awal.

Hakikat sosial dan biologis anak ini juga mencakup kecenderungan bayi untuk menerima suara manusia, bentuk wajah, dan gerakan manusia. Kita dapat melihat “ikatan kasih sayang” sebagai sebuah manifestasi dari sebuah “sistem perilaku” yang menurut perspektif biologis memberikan jaminan yang sebesar-besarnya bagi kelangsungan hidup. Tetapi ikatan kasih sayang juga berarti adaptasi terhadap situasi sosial pengasuhan di mana anak dapat memperoleh perhatian orang tua, melibatkan mereka secara emosional dan mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginannya kepada mereka. Prasyarat untuk mengembangkan ikatan kasih sayang dan komunikasi biasanya sudah ada pada diri anak sejak lahir.

Pentingnya Kontak dan Sentuhan Kulit dalam Perkembangan Anak
Bowlby meneliti efek deprivasi sosial dalam perkembangan anak, dan mendapat inspirasi antara lain dari penelitian Harri Harlow mengenai efek deprivasi sosial dalam perkembangan monyet (Harlow, H.F. 1958; Harlow, H.F. & Halow, M.K. 1962). Beberapa temuan penting dalam penelitian Halow mencakup sangat pentingnya kontak fisik bagi perkembangan psikososial monyet. Penelitian mutakhir tentang kontak fisik dan tanda-tanda kasih sayang dalam perkembangan anak telah dengan jelas menunjukkan bahwa hal itu merupakan prasyarat fundamental untuk ikatan kasih sayang, pertumbuhan dan perkembangan fisik. Sentuhan fisik secara sistematis dapat mempunyai efek menenangkan yang tinggi pada anak. Sentuhan dan tanda kasih sayang dapat merubah kegelisahan dan kurangnya konsentrasi menjadi kesigapan, perhatian dan fungsi mental yang lebih fokus yang menciptakan peluang untuk interaksi dan belajar.

Kontak dan sentuhan pada kulit tampaknya terkait dengan perasaan memiliki dan rasa aman, dan dapat mengkomunikasikan perasaan positif, misalnya melalui sentuhan halus atau belaian pada tubuh, sedangkan cubitan, pukulan dan menggelitik yang tidak menyenangkan menandakan perasaan dan sikap negatif atau agresif yang mengancam rasa aman si anak. Jadi, kontak dan sentuhan kulit tampaknya merupakan pengalaman hubungan intim yang fundamental, yang bersama-sama dengan kontak mata dan suara membentuk fondasi biologis dan psikososial untuk perkembangan ikatan kasih sayang. Penelitian menunjukkan bahwa kontak dan sentuhan kulit terkait erat dengan pengalaman kontak emosional dan mempunyai efek menenangkan yang sangat positif bagi anak kecil (Tronik 1995; Anderson 1991, 1995). Pendekatan terhadap kontak ini tampaknya kurang dipergunakan dalam pekerjaan kita dengan anak yang berkebutuhan khusus di bagian dunia kita ini. Namun di negara-negara Afrika dan di Timur pemijatan bayi merupakan hal yang umum dilakukan dalam perlakuan rutin sehari-hari bagi anak. Umumnya, bayi dipijat dengan minyak setiap hari setelah mandi sebelum tidur khusus pada tahun-tahun pertama kehidupan bayi. Di negara-negara barat, pemijatan bayi merupakan temuan dan masalah penelitian baru. Akhir-akhir ini sejumlah institusi di Amerika serikat mengajari orang tua untuk melakukan pemijatan terhadap bayinya.

Efek positif pemijatan bayi antara lain adalah sebagai berikut:

Meningkatkan ikatan antara pengasuh dan anak dengan menjalin hubungan positif dan hangat;
Mengurangi stres akibat pengalaman yang tidak menyenangkan dan menyakitkan misalnya pada saat vaksinasi;
Mengurangi rasa sakit akibat pertumbuhan gigi atau masalah pencernaan;
Mengurangi rasa sakit pada saat mulas perut;
Menenangkan anak sebelum tidur;
Memberikan perasaan senang bagi orang tua dengan melakukan
sesuatu yang disenangi anak.
Anak-anak yang berkebutuhan khusus – misalnya anak-anak tunanetra dan tunarungu, anak-anak cerebral palsy dan anak-anak yang rendah berat badannya bila lahir atau prematur – juga dilaporkan mendapatkan manfaat dari pijat ini. Kontak dan sentuhan kulit tetap merupakan sebuah cara yang penting untuk mengkomunikasikan kedekatan, keintiman, rasa aman, cinta dan sayang bagi kebanyakan orang dan merupakan sebuah aspek penting dari komunikasi kita. Anak-anak yang kurang beruntung, misalnya mereka yang tinggal di panti asuhan tradisional dan sekolah berasrama, seringkali menderita kekurangan kontak manusia yang fundamental, khususnya kurangnya kedekatan fisik dan sentuhan.

Namun kurangnya kontak dan sentuhan ini dapat ditemukan pula pada orang dewasa yang tinggal sendiri, misalnya para lansia di panti wreda di mana para stafnya hanya mempunyai sedikit pemahaman tentang kebutuhan akan kontak dalam bentuk sentuhan fisik atau mempunyai sedikit waktu untuk menerapkan pemahamannya. Kini wawasan ini sudah didokumentasikan secara baik dan menciptakan sebuah dasar pemikiran empiris bagi efek positif pemijatan bayi” (Field, 1995; Rye 1993).

Berdasarkan pentingnya sentuhan fisik dan tanda-tanda kasih sayang itu, maka ada alasan untuk memandang jenis kedekatan ini sebagai kualitas fundamental dalam perkembangan ikatan kasih sayang dan merupakan pengalaman yang sangat penting pada perkembangan awal komunikasi. Pentingnya ikatan kasih sayang yang kokoh bagi perkembangan mental anak serta fungsi sosial dan pembelajarannya didokumentasikan dalam beberapa penelitian termasuk Ainsworth, et al. (1971: 1978). Penelitian Ainsworth didasarkan atas teori ikatan kasih sayang dari Bowlby.

Komunikasi
Komunikasi sebagai sebuah konsep dan perkembangan komunikasi antara anak dan orang tua telah menjadi sangat penting dalam penelitian empiris tentang bayi dan anak kecil selama 25 tahun terakhir ini. Sejumlah peneliti telah menggambarkan komunikasi awal ibu-anak dalam bentuk saling bersuara, saling meniru suara atau gerakan, di mana ibu dan anak berpartisipasi dengan cara yang bervariasi. Juga kemampuan bayi untuk berkomunikasi dan meniru ekspresi perasaan digambarkan secara rinci (Bateson 1975; Newson 1979).

Komunikasi emosional dan saling beradaptasi serta keteraturan interaksi yang terjadi antara pengasuh dan anak (Stern 1985, 1996; Trewarthen 1984, 1988) dalam perkembangan anak sebagai seorang makhluk sosial merupakan fondasi bagi semua perkembangan mental (Bruner 1975, 1990; Vygotsky 1978). Jerome Bruner menggambarkan bahwa pada diri anak terjadi “transactional self” dengan akses yang intuitif dan bebas terhadap kesadaran subjektif orang lain. Ini merupakan pencarian alami atas kesamaan konsepsi yang dia sebut “the biology of meaning”, yang merupakan prasyarat untuk mengembangkan sebuah lingkungan yang memiliki kesamaan pengertian dan tindakan.

Pemahaman tentang kebutuhan psikososial anak dan dasar-dasar untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dapat diringkas ke dalam poin-poin kunci berikut ini:

Anak harus dipersepsi sebagai seseorang dengan kualitas-kualitas individu yang memiliki kebutuhan, keinginan, temperamen, kepribadian dan keterampilan. Cara para pengasuh melihat dan memahami anak menentukan bagaimana mereka dapat memenuhi, menerima dan memberikan pengakuan kepada anak dan memenuhi kebutuhan fisik dan psikososialnya.
Pengasuh harus dapat mengidentifikasi anak dan memahami kebutuhan anak dan keadaan emosinya secara mendalam. Kemampuan untuk memahami dan mengaitkan diri dengan situasi anak menentukan bagaimana para pengasuh dapat memenuhi kebutuhan anak dan memahami hakikat individu anak.
Bentuk komunikasi yang sederhana telah terbentuk sejak anak baru lahir.
Bentuk komunikasi tersebut dimulai dengan pengasuh mencoba memahami keinginan anak atau memperhatikan reaksinya yang dapat dipahami sebagai kebutuhan atau keinginan yang dapat ditanggapi dan diperhatikan oleh pengasuh. Akhirnya bentuk komunikasi sederhana ini berkembang menjadi sebuah interaksi kompleks yang meningkat, yang sering digambarkan sebagai sebuah spiral (Rye 1993).
Kemampuan berkomunikasi ini tetap merupakan sebuah prasyarat pembelajaran dan perkembangan manusia yang bermakna dan memegang peran kunci selama masa hidup anak (Hundeide 1996; Rye 1996).
Anak sebagai seorang pelaku aktif dalam perkembangan pengalaman dan belajarnya sendiri pertama kali digambarkan secara sistematis dalam karya Lev Vygotsky tahun 1920-an dan 1930-an. Vygotsky menekankan interaksi antara anak dan orang tua dan konteks budaya untuk perkembangan kemampuan mental anak dan penguasaan lingkungannya. Ini merupakan dasar bagi perkembangan konsep abstrak dan bahasa (Kozulin 1998). Cara berpikir seperti ini lebih lanjut dikembangkan dan menjadi sumber perspektif sosio-ekologis bagi Bronfenbrenner tentang perkembangan anak (Bronfenbrenner 1979). Namun, karya Vygotsky ini tidak dikenal secara luas di barat sebelum tahun 1970-80-an.
Anak sebagai seorang pelaku aktif dalam perkembangan pengalaman dan belajarnya sendiri pertama kali digambarkan secara sistematis dalam karya Lev Vygotsky tahun 1920-an dan 1930-an. Vygotsky menekankan interaksi antara anak dan orang tua dan konteks budaya untuk perkembangan kemampuan mental anak dan penguasaan lingkungannya. Ini merupakan dasar bagi perkembangan konsep abstrak dan bahasa (Kozulin 1998). Cara berpikir seperti ini lebih lanjut dikembangkan dan menjadi sumber perspektif sosio-ekologis bagi Bronfenbrenner tentang perkembangan anak (Bronfenbrenner 1979). Namun, karya Vygotsky ini tidak dikenal secara luas di barat sebelum tahun 1970-80-an.

Pembelajaran Termediasi [Mediated Learning]
Pembelajaran termediasi sebagai sebuah konsep psikologis dalam konteks ini didasarkan atas teori Mediated Learning Experience dari Reuven Feuerstein (Feuerstein et al. 1991). Namun, dalam hubungannya dengan perkembangan bayi dan anak, ini terutama dikaitkan dengan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh Pnina Klein tentang program MISC [More Intelligent, Sensitif Child = Anak yang Lebih Cerdas dan Lebih Peka], yaitu sebuah program untuk intervensi psikososial dini (Rye 1993). Penjelasan Pnina Klein dan eksplorasi empiris tentang pentingnya mutu mediasi dalam teori Feuerstein, menekankan pentingnya peran pengasuh sebagai pembimbing, guru dan mitra yang mendukung anak dalam rangka membangun rasa harga diri dan kemampuan untuk belajar, merasakan atau mengalami, dan menguasai lingkungan sekitar secara bertahap.

Sementara titik tolak teori Feuerstein dan penelitian eksperimental yang dilakukan oleh Klein adalah pentingnya mutu mediasi bagi perkembangan kognitif, namun penelitian paling akhir menunjukkan bahwa hubungan interaksi di mana terdapat mediasi yang bermutu, juga melibatkan dan memegang peran besar dalam mengembangkan komunikasi emosional dan ikatan kasih sayang (Klein 1992). Ini juga sejalan dengan pendapat Bruner (1990), yang berargumen bahwa integrasi dan modulasi afeksi dalam interaksi merupakan prasyarat untuk mengembangkan hubungan yang bermakna dan fungsi mental yang terkait dengan interaksi dan bahasa.
Ketiga penjelasan teoritis dan empiris tentang ikatan kasih sayang, komunikasi dan pembelajaran termediasi dalam interaksi antara pengasuh dan anak memberikan kerangka pendekatan holistik terhadap tindakan pencegahan dan intervensi dini maupun intervensi lanjutan untuk meningkatkan fungsi dan perkembangan anak.

Mengapa memerlukan waktu yang begitu lama untuk mengembangkan praktek berorientasi sumber yang modern itu?
Walaupun pada tahun 1970-an telah ada wawasan baru tentang pentingnya hubungan antara pengasuh dan anak, tetapi masih banyak masalah yang belum terjawab:

Belum jelas kualitas-kualitas apa dalam interaksi antara pengasuh dan anak yang paling penting.
Masih sedikit kesadaran mengenai pentingnya perubahan dalam kualitas interaksi antara anak-pengasuh dan bahwa perubahan tersebut harus
Berdasarkan pada dasar pemikiran pengasuh sendiri dan dimulai dari sana.
Penelitian yang didasarkan atas kegiatan orang tua dalam mengajar anaknya hingga tahun 1980-an pada umumnya diabaikan dan hampir tidak ada.
Pada tahun 1970-an, fokusnya adalah pada “stimulasi”, yang mencerminkan pemikiran bahwa anak membutuhkan pengalaman untuk perkembangan mentalnya, misalnya untuk perkembangan kecerdasan dan bahasanya.
Namun masih belum ada kesadaran akan pentingnya kualitas interaksi sosial tertentu yang kemudian digambarkan sebagai dasar untuk pembelajaran dini anak.
Beberapa contoh kesimpulan dari tahun 1970-1980an yang diperluas di dalam penelitian tentang interaksi berikutnya:
Cara ibu mengajari anaknya mempunyai pengaruh lebih besar pada perkembangan mental anak dari pada IQ ibu dan status sosial ekonominya (Hess & Shipman 1968).
Keterlibatan dan minat ibu dalam mengajar anaknya sangat penting bagi perkembangan mental anak (Carew 1980).
Keterlibatan dan sikap responsif ibu merupakan salah satu variabel eksogen terpenting yang terkait dengan perkembangan intelektual (Gottfried 1984).
Ekspektasi ibu dan hubungan antara cara ibu dan anak berinteraksi (contingency) berdampak besar pada adaptasi dan perkembangan anak (Collins 1984).
Namun, merupakan masalah besar bahwa konsep-konsep yang dijelaskan di atas jarang dioperasionalkan atau dikonkretkan; konsep-konsep tersebut bersifat umum dan penjelasannya relatif abstrak sehingga sulit untuk dipraktekkan. Sejumlah program intervensi dini diselenggarakan pada tahun 1970-an, termasuk program Portage di Wisconsin. Kebanyakan dari program intervensi “generasi pertama” bersifat instruktif dalam pendekatannya yang berimplikasi bahwa para pengasuh diberikan instruksi mengenai bagaimana mereka harus berhubungan dengan anak-anak.

Walaupun hasil positif dilaporkan dari program “generasi pertama” itu, sejumlah keluhan pada akhirnya dijelaskan:

Para pengasuh dirasakan tidak memenuhi syarat dan kurang memiliki kemampuan, yang berarti mereka harus belajar hal lain dan cara baru untuk berhubungan dengan anak.
Sebagian menyatakan bahwa menggunakan jenis materi tertentu pada waktu tertentu terasa aneh.
Keluhan yang lain adalah mudahnya menjadi tergantung kepada instruksi dan materi. Cara baru untuk berhubungan tidak diintegrasikan ke dalam karakter setiap orang (Lombard 1981)
Pada tahun 1970-80an hasilnya mulai muncul dari berbagai program intervensi berdasarkan jenis program pra-sekolah yang berbeda, termasuk program Head Start yang memberikan hasil yang positif selama masih ada intervensi. Namun efek yang dapat dibuktikan melemah setelah programnya dihentikan. Pengalaman dari tahun 1980-an menunjukkan bahwa program intervensi berorientasi keluarga adalah yang paling menjanjikan bagi anak-anak dan keluarga yang berkebutuhan khusus (Shonkoff & Meisels 1990; Gallagher 1990).
Program intervensi generasi kedua
Program intervensi dini yang baru – program “generasi kedua” – muncul pada tahun 1980-an. Program tersebut didasarkan atas penelitian mutakhir tentang bayi, khususnya hasil penelitian tentang perkembangan emosi dan komunikasi anak (penulisnya termasuk Stern, Trewarthen, Tronick, Papouseko), dan pendekatan berorientasi mediasi (misalnya Vygotsky, Feuerstein, Klein). Program yang paling terkenal dari tradisi ini adalah program ORION (Marte Meo) dari Belanda dan Program anak yang lebih cerdas dan sensitif [MISC=More Inteligent and Sensitif Child] dari Israel.

Program-program ini sangat khusus karena:

Dibangun atas dasar deskripsi spesifik dan bernuansa kualitas interaksi yang penting dalam penelitian bayi dan anak, dan
Bertitik tolak dari situasi sehari-hari yang relevan dan pengalaman interaksi para pengasuhnya.
Beberapa kesimpulan utama dari penelitian dan pengalaman klinis dengan program ini:

Lingkungan rumah sangat penting bagi pembelajaran dan penyesuaian di sekolah bagi anak-anak kecil.
Pola interaksi psikososial dapat dipengaruhi melalui pengalaman sosial sejak lahir.
Sejak usia dua tahun, kognitif anak dan fungsi sosialnya secara sistematis berhubungan dengan fungsi kognitif dan perkembangan sosialnya pada usia sekolahnya.
Penelitian menunjukkan bahwa intervensi berorientasi mediasi, yang didasarkan atas prinsip pengalaman pembelajaran termediasi, mempunyai efek jangka panjang pada perkembangan emosional dan kognitif.
Penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang berorientasi komunikasi mempunyai efek positif yang bertahan lama pada interaksi orang tua-anak.
Intervensi dini pada interaksi orang tua-anak telah menunjukkan efek positif pada perkembangan anak, termasuk pada anak-anak yang mempunyai masalah biologis, seperti: Mul>
berat badan rendah pada waktu lahir
gangguan motorik
keterbelakangan mental
(Aarts 1988; Guralnick 1989; Klein 1992)
Penelitian yang dijelaskan di atas juga diringkas dalam buku Tidlig hjelp til bedre samspill (Early intervention for improved interplay, Rye 1993).


Dalam interaksi antara pengasuh dan anak, beberapa aspek penting kebutuhan psikologis anak harus disorot, seperti perkembangan pemahaman diri anak dan pengalaman menjadi seseorang dalam hubungannya yang erat dengan pengasuh.

Kebutuhan interaksi ini dapat diekspresikan melalui pengalaman berikut ini:

Dilihat/didengar/diperhatikan
Dipertemukan/merasakan kedekatan
Dimengerti
Diterima
Diakui
Disayangi
Kemajuan melalui poin-poin ini meningkatkan keterlibatan dan kompleksitas proses interaksi. Pengalaman antar pribadi ini merupakan dasar hubungan yang kokoh dengan pengasuh yang dekat, dan terus menjadi kebutuhan penting dalam hubungan antar diri anak selama hidupnya. Oleh karena itu, untuk mendukung kemampuan pengasuh dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia pada anak merupakan dasar pemikiran bagi kebanyakan program untuk meningkatkan interaksi antara pengasuh dan anak.

Program ICDP [International Child Development Programmes] untuk Intervensi Dini dan Pencegahan
Untuk meningkatkan interaksi antara pengasuh dan anak, Yayasan Norwegia “Program Perkembangan Anak Internasional” [ICDP] telah mengembangkan sebuah program yang mengintegrasikan kualitas interaksi dari program Marte Meo dan MISC. Program ICDP bagi intervensi dini termasuk dalam program bimbingan orang tua di Norwegia, yang terdapat di semua kota (Hundeide 1996; Rye 1996). Sejumlah daerah di Norwegia kini melatih orang-orang untuk menggunakan program intervensi ini.

Program ICDP didasarkan pada pemikiran bahwa bila masalah muncul dalam hubungan antara pengasuh dan anak, masalah yang tampaknya berjangka panjang dan sudah berakar, intervensi dapat dimulai dengan memfokuskan pada pengasuh, terutama dalam tiga cara berikut ini:

Bagaimana pengasuh merasakan dan memahami anak
Bagaimana pengasuh merasakan kemampuan dirinya sendiri sebagai pengasuh
Seberapa penting pengasuh memahami interaksinya dengan anak.
Khususnya bila pola interaksi yang negatif dibiarkan berkembang untuk waktu lama, pengasuh akan membentuk persepsi mengenai anak dan dirinya sendiri yang dapat menghambat perubahan pola ini. Pengalaman dan persepsi negatif mudah menciptakan ekspektasi dan sikap defensif yang mengakibatkan pola interaksi yang mempertahankan dan memperkuat kenegatifan. Misalnya jika pengasuh menganggap anak sebagai nakal, jahat atau abnormal, dia akan bereaksi defensif dengan menolak si anak, mempunyai ekspektasi negatif atau pesimistik dan, yang paling buruk, menyerah dan menarik diri dari tugasnya. Kemudian pengasuh akan merasa bersalah, tidak mampu, tidak sayang – pendek kata, merasa seperti orang tua yang buruk dan gagal. Akibatnya ini dapat membuat pengasuh menghindari interaksi dengan anak sehingga pengasuh hanya berinteraksi seperlunya saja untuk layanan praktis bagi kelangsungan hidup anak. Dia mungkin tidak sadar betapa pentingnya interaksi dengan seorang pengasuh bagi perkembangan seorang anak.

Agar intervensi berhasil dalam membangun pola interaksi yang lebih positif, persepsi dan perasaan negatif ini harus diperhatikan selama proses berlangsung. Perhatian terhadap masalah ini membantu membangun kepercayaan dan menjalin kontak dalam fase pengenalan intervensi. Orang yang memfasilitasi intervensi harus siap menerima rasa frustrasi, kemarahan, kekecewaan, rasa bersalah dan seterusnya yang sering ada sebagai hambatan untuk membangun hubungan yang lebih positif dengan anak.

Program ICDP mengidentifikasi sejumlah aspek atau kualitas yang tercakup di dalam interaksi. Kualitas-kualitas tersebut dikelompokkan ke dalam delapan prinsip bimbingan yang dirancang untuk mendorong observasi diri, pengenalan, eksplorasi dan perkembangan lebih lanjut. Prinsip-prinsip bimbingan ini tidak dimaksudkan sebagai resep yang manjur juga tidak dimaksudkan sebagai instruksi langkah demi langkah. Di bawah ini, prinsip-prinsip bimbingan tersebut dirumuskan dengan mempertimbangkan anak dan pengasuh.

Delapan Prinsip Bimbingan untuk Interaksi Positif

Tunjukkan perasaan positif – tunjukkan bahwa anda menyayangi anak anda.
Bahkan jika anak anda belum mengerti pembicaraan anda dengan baik, namun dia dapat memahami ekspresi emosional rasa sayang, penolakan, kebahagiaan dan kesedihan. Penting bagi rasa aman anak bahwa dia dapat mengakses perasaan anda, bahwa anda menunjukkan kasih sayang, memegangnya dengan perasaan kasih, membelainya, dan menunjukkan rasa senang dan antusiasme.


Beradaptasilah dengan anak anda dan ikutilah keinginannya.
Dalam berinteraksi dengan anak, penting sekali bahwa anda memahami keinginan dan tindakan anak, memahami keadaannya, perasaannya dan bahasa tubuhnya, dan bahwa sejauh tertentu anda berusaha mengikuti isyarat-isyaratnya dan mengarahkan fokus perhatian anda ke hal-hal yang menarik baginya.


Berbicaralah dengan anak anda mengenai hal-hal yang menarik baginya dan coba untuk mengawali sebuah “dialog perasaan”.
Bahkan sejak anak baru lahir anda dapat mulai melakukan dialog perasaan melalui kontak mata, senyum dan saling bertukar isyarat dan ekspresi rasa senang di mana pengasuh membuat komentar positif mengenai apa yang dilakukan anak atau yang diminati anak dan di mana anak “menjawab” dengan suara senang. Dialog perasaan dini ini penting bagi ikatan kasih sayang anak di masa datang dan bagi perkembangan bahasa dan sosialnya.


Berikanlah pujian dan pengakuan bagi hal-hal yang berhasil dilakukan oleh anak.
Agar anak mengembangkan inisiatif dan rasa percaya diri yang normal, penting bagi kita untuk membuatnya merasa berguna dan mampu, dan bahwa kita menjelaskan kepadanya mengapa hal yang dilakukannya itu baik. Ini akan membantunya mengembangkan rasa percaya diri yang didasarkan atas prestasi yang sesungguhnya.


Bantu anak memfokuskan perhatiannya agar anda dapat berbagi pengalaman mengenai hal-hal yang ada di lingkungan sekitar.
Bayi dan anak kecil sering memerlukan bantuan memfokuskan perhatiannya. Anda dapat membantunya dalam hal ini dengan menarik dan mengarahkan perhatiannya pada hal-hal yang ada di sekitarnya.


Berikan makna pada pengalaman anak dengan lingkungannya dengan menjelaskannya pada saat anda berbagi pengalaman dan dengan menunjukkan perasaan dan antusiasme anda.
Dengan menggambarkan, memberikan nama, dan menunjukkan perasaan terhadap apa yang anda alami bersama, pengalaman itu akan tampak lebih jelas” dan anak akan mengingatnya sebagai sesuatu yang penting dan berarti.


Jelaskan kejadian yang anda alami bersama.
Anak membutuhkan bantuan mengembangkan pemahamannya tentang dunia sekitarnya. Anda dapat membantunya dalam hal ini, misalnya dengan membandingkan kejadian yang dialami bersama itu dengan sesuatu yang telah dialami anak sebelumnya, dengan bercerita, dengan bertanya, dengan menunjukkan persamaan dan perbedaan, dengan menghitung dan lain-lain.


Bantu anak anda belajar disiplin diri dengan memberikan batasan-batasan secara positif – melalui bimbingan, menunjukkan alternatif yang positif, dan membuat perencanaan bersama.
Anak perlu bantuan untuk belajar disiplin diri dan cara membuat rencana. Ini dilakukan terutama melalui interaksi dengan pengasuh yang secara positif membimbing anak, menentukan aturan, membantu merencanakan secara bertahap, dan bila anak tumbuh besar, jelaskan mengapa hal-hal tertentu dilarang. Daripada selalu membuat larangan dan bilang “tidak” kepada anak, penting untuk mengarahkan anak dengan cara yang positif dan tunjukkan hal-hal yang boleh mereka lakukan.
Beberapa masukan untuk prinsip-prinsip bimbingan ini diambil dari psikologi perkembangan:

Tunjukkan perasaan positif– tunjukkan bahwa anda menyayangi anak anda.
Rekomendasi ini terkait langsung dengan peningkatan ikatan emosional dengan meningkatkan kesadaran pengasuh terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang dan mendorong pengasuh untuk mengekspresikan perasaan kasih sayangnya secara alami. Merasakan kontak emosional yang dekat sering dimulai dengan kontak mata yang merupakan titik awal bagi perhatian dan interaksi bersama.


Beradaptasi dengan anak anda dan ikuti keinginannya.
Secara alami, anak berinisiatif berdasarkan perhatian dan minatnya. Oleh karena itu, mengawali interaksi dengan sesuatu yang diminati anak dan yang dapat dialami oleh anak melalui pengarahannya, pengalaman dan pembelajarannya sendiri merupakan langkah awal yang baik. Kontak mata dan inisiatif anak merupakan langkah awal yang penting bagi interaksi.


Bicara dengan anak anda mengenai hal-hal yang menarik baginya dan coba untuk mengawali sebuah “dialog perasaan”.
Dengan menciptakan “dialog perasaan” di mana suara dan kata-kata merupakan bagian dari komunikasi, baik komunikasi verbal maupun non-verbal menjadi terkait dengan interaksi. Suara dan kata diasosiasikan dengan kesan indera lain dan merupakan sebuah sumber belajar yang penting, yang bila dibarengi dengan eksperimentasi aktif dengan suara, membentuk dasar bagi fungsi bahasa verbal. Bila pemberian nama dan penjelasan oleh pengasuh menjadi bagian dari aspek interaksi yang bermakna, maka perhatian anak akan meningkat dan lebih terfokus pada pengalamannya. Bila seorang dewasa memberi label dan menjelaskan tentang obyek interaksinya, maka perhatiannya menjadi lebih terfokus pada masalah interaksi tersebut. Setiap giliran dalam dialog merupakan hubungan saling memberi dan menerima, dengan kesempatan untuk memulai, menanggapi atau mengakhiri rangkaian dalam komunikasi. Komunikasi seperti ini membantu mengembangkan kemampuan untuk berbagi pengalaman, pengertian, keinginan dan kebutuhan, serta menjadi pengarah komunikasi yang aktif antara dua orang ataupun dalam kelompok.


Berikan pujian dan pengakuan bagi hal-hal yang dicapai anak.
Anak memerlukan reaksi dan bimbingan orang tuanya sebagai kerangka acuan bagi perilakunya dan untuk mendapatkan jaminan tentang penerimaan dan kasih sayang orang tuanya. Pujian dan penerimaan dikomunikasikan dengan sangat bervariasi tergantung individu, kebiasaan sosial dan budaya, dan juga tergantung pada usia dan perkembangan anak. Ekspresi penerimaan dan pujian memberikan dasar penting bagi perkembangan rasa percaya diri, kemampuan dan penyesuaian sosial anak. Dengan sejumlah besar variasi budaya, pelaksanaan penerimaan dan pengakuan biasanya diintegrasikan sebagai aspek penting dari interaksi dan pengasuhan anak, tetapi ini akan menghilang jika konflik dan ketegangan muncul. Ekspresi penerimaan dan penghargaan yang tulus terkait dengan hubungan emosional positif dan merupakan alasan mendasar bagi sosialisasi anak. Lebih jauh, saling memberi respon positif tidak hanya penting bagi anak tetapi juga bagi orang dewasa – yang perlu merasa dimengerti, diterima dan diakui hubungannya dengan anak. Tanpa pengalaman kebersamaan yang positif seperti ini, komunikasi dan perkembangan interaksi positif dapat terhenti dengan mudah. Menunjukkan penerimaan dan penghargaan merupakan prasyarat untuk pengembangan rasa percaya diri, inisiatif dan keterampilan praktis dan sosial.


Bantu anak memfokuskan perhatiannya sehingga anda dapat berbagi pengalaman mengenai hal-hal di lingkungan sekitar.
Mutualitas dalam kontak dan komunikasi serta berbagi perhatian merupakan prasyarat bagi terjalinnya komunikasi. Bila pengasuh berusaha untuk memfokuskan perhatian anak pada sesuatu, biasanya ini berimplikasi bahwa pengasuh bermaksud mengkomunikasikan sesuatu, pada hal yang harus diperhatikan oleh anak. Bahwa perhatian anak diarahkan pada pengalaman tertentu, ini berarti bahwa, antara lain, anak akan lebih siap dan mau menerima hal-hal yang ingin dikomunikasikan oleh pengasuh. Seringkali pengarahan perhatian anak dikombinasikan dengan tindakan pengasuh untuk memilih dan mengatur hal-hal yang akan dialami oleh anak sehingga anak akan dapat menyerap pengalaman tersebut secara optimal. Di samping itu, pengasuh sering membantu anak untuk berinisiatif dan memberikan respon sehingga, semaksimal mungkin, mereka menjadi bagian dari sebuah pengalaman bersama yang bermakna.


Berikan makna pada pengalaman anak dengan lingkungannya dengan menjelaskannya pada saat anda berbagi pengalaman dan dengan menunjukkan perasaan dan antusiasme anda.
Ungkapan perasaan merupakan hal penting bagi pengalaman baik dan buruk kita. Mengalami atau menyelami perasaan – baik kita sendiri maupun perasaan orang lain – membuat pengalaman kita tampak lebih jelas dan dengan makna yang lebih luas. Kita ingat orang, benda-benda, simbol-simbol dan situasi-situasi dalam konteks arti yang khas bagi kita secara pribadi. Tentu saja pengkomunikasian arti itu tidak hanya dilakukan melalui pengungkapan perasaan, tetapi justru sebagian besar melalui apa yang kita ekspresikan secara verbal dengan menyebutkan namanya, membicarakannya dan menjelaskan apa yang kita alami. Komunikasi disampaikan dalam berbagai cara, sangat dipengaruhi oleh gaya pribadi, situasi serta latar belakang sosial dan budaya. Penyampaian komunikasi bervariasi mulai dari mimikri, gerak isyarat dan postur hingga ekspresi verbal, yang kesemuanya dikombinasikan untuk mengekspresikan rasa senang dan antusiasme atau kesedihan, marah, jijik, dan kekhawatiran. Dengan demikian, bentuk-bentuk ekspresi itu digabungkan, dibentuk oleh faktor-faktor individual dan budaya untuk menciptakan bentuk ekspresi yang unik, yang mengkomunikasikan isi makna dan cara pengungkapannya. Oleh karena itu, tidak hanya pengalaman dan ungkapan pribadi pengasuh saja yang dikomunikasikan kepada anak, tetapi juga hal-hal yang dipandangnya penting dan mengapa penting. Di samping pengertian orang dewasa dan reaksinya terhadap pengalamannya, proses ini juga mengkomunikasikan tradisi dan nilai-nilai budaya.


Jelaskan kejadian yang anda alami bersama.
Sebuah tugas penting pengasuh adalah mengkomunikasikan pengetahuan mengenai dunia tempat anak tumbuh dengan cara yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan, wawasan dan kemampuan anak. Bagaimana cara membantu anak menemukan cara dunia bekerja dan apa yang dapat dilakukannya terhadap lingkungannya tidak semuanya diketahui dengan pasti oleh semua pengasuh. Sebagian percaya bahwa anak kecil kurang mampu memahami – betapa pun mereka menjelaskannya – sehingga mereka beranggapan bahwa memberi penjelasan itu tidak penting bagi kelangsungan hidup anak. Akan tetapi, mengasuh dan membesarkan anak itu tidak hanya demi kelangsungan hidup; tetapi juga demi memperkenalkan anak kepada dunia sekitarnya, dan secara bertahap membantunya mengembangkan dan menguasai wawasan. Pengembangan asosiasi, konsep dan wawasan tentang berbagai hubungan pada level fisik dan sosial emosional tidak terjadi secara spontan. Pengembangan makna dan pembentukan kompetensi terjadi terutama dengan cara pengasuh menunjukkan, menjelaskan, dan membimbing anak dalam aktivitasnya dan pengalamannya dengan dunia sekitarnya. Kehidupan sehari-hari memberikan banyak contoh situasi keteraturan, seperti waktu makan yang teratur, yang cocok untuk ini. Dengan tidak hanya mengajarkan anak cara makan tetapi juga menjelaskan dari mana asal makanan, membahas berbagai kualitasnya, seperti rasa dan warnanya, dan mengaitkan pengalaman saat ini dengan pengalaman pada waktu-waktu lain dan di tempat lain bersama orang lain, akan membantu anak membentuk asosiasi dan mengembangkan konsep baru yang merupakan “bahan mentah” untuk perkembangan kognitifnya. Terdapat berbagai cara untuk melakukannya, tergantung pada dasar pikiran, situasi dan budaya. Misalnya negara-negara barat sering memfokuskan pada penjelasan logis sedangkan budaya tradisional Afrika menggunakan kiasan, lagu dan cerita rakyat sebagai media pemberian wawasan. Cara mengkomunikasikan wawasan dan penguasaan berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan minat dan motivasi untuk belajar.


Bantu anak anda belajar disiplin diri dengan memberikan batasan-batasan secara positif – melalui bimbingan, menunjukkan alternatif yang positif, dan membuat perencanaan bersama.
Anak-anak biasanya diperkenalkan pada sejumlah rutinitas sehari-hari sejak lahir. Cara pengasuh dan anak berinteraksi serta apa yang mereka lakukan, menyebabkan anak mengembangkan ekspektasi mengenai apa yang akan terjadi dan bagaimana terjadinya. Rutinitas sehari-hari memberikan kesadaran dan pemahaman tentang apa yang akan terjadi pada diri anak dan membuatnya beradaptasi dengan ekspektasinya. Ekspektasi yang didasarkan atas pengalaman, kemampuan yang tumbuh untuk memahami hubungan sebab akibat dan kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan sekitar, merupakan dasar yang penting untuk dapat memprediksi dan merencanakan. Interaksi sehari-hari antara pengasuh dan anak cocok untuk membimbing anak dalam aktivitas sehari-harinya, membantu anak mengembangkan bermacam-macam strategi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, memahami keterbatasannya, mengarahkan anak agar memahami hal-hal yang diperbolehkan dan membuat batasan yang jelas dan konsisten tentang hal-hal yang tidak diperkenankan. Ini merupakan aspek-aspek penting dari pengasuhan anak dan merupakan dasar penting agar dapat terlibat dalam aktivitas yang ditargetkan dan mampu memecahkan masalah, serta merupakan dasar untuk penyesuaian sosial dan budaya, sekolah dan kehidupan masa dewasa.
Transformasi dan perkembangan individual
Sebagaimana dikemukakan di atas, orang tua dan para pengasuh lainnya didorong untuk mengeksplorasi dan mencari caranya sendiri untuk berinteraksi dan cara untuk mengembangkanya lebih lanjut.

Dalam kaitannya dengan usia dan perkembangan anak serta kemampuan pengasuh untuk beradaptasi, terjadilah apa yang dapat disebut “transformasi” cara isi dari prinsip-prinsip ini, yang dimanifestasikan dalam interaksi. Walaupun kita dapat mengatakan bahwa prinsip-prinsip dalam program ICDP itu bersifat universal, dalam pengertian bahwa prinsip-prinsip tersebut dapat ditemukan dalam berbagai konteks sosial dan budaya, tetapi terutama maksud, isi dan maknanya tampak jelas. Situasi spesifik serta konteks sosial dan budaya senantiasa berubah. Bila tema digunakan sebagai titik awal untuk meningkatkan kualitas interaksi pada berbagai kebudayaan, kita perlu menerjemahkan tidak hanya bahasanya, tetapi juga makna budayadari prinsip-prinsip tersebut.

Namun, perlu diingat bahwa cara mengungkapkan isi prinsip-prinsip ini juga tergantung pada pengalaman dan kepribadian pengasuh sendiri, usia dan perkembangan anak serta situasi dan aktivitas yang mendasari interaksi.

Tidak diragukan bahwa pengasuh membawa pengalaman masa kanak-kanaknya dan pengalamannya sebagai pengasuh. Meskipun pengasuh yang dewasa telah belajar banyak mengenai cara mengasuh dan membesarkan anak, tetapi dalam situasi yang penuh dengan muatan emosi, sarat dengan konflik dan menuntut banyak kesabaran dan keterampilan dengan anak, pengasuh cenderung mengulang pola reaksi yang dialaminya sendiri pada masa kanak-kanaknya – sering kali dengan perasaan tidak berdaya dan penyesalan (Brazelton 1995).

Agar pengasuh berhasil beradaptasi dan mentransformasikan interaksinya dengan anak menjadi pengalaman yang lebih positif, mereka harus belajar merasa aman, mempunyai energi dan motivasi, dan menunjukkan kreatifitas dalam situasi pengasuhannya. Bagi banyak pengasuh, menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemampuan anak tampaknya terjadi “secara otomatis” tanpa perlu memberikan perhatian khusus. Namun kebanyakan pengasuh merasakan bahwa terdapat perbedaan antara interaksi yang harmonis dan saling menyesuaikan diri dengan interaksi yang sarat dengan beban konflik yang lebih emosional yang harus dipecahkan melalui diplomasi. Fluktuasi seperti ini normal; tetapi bila hubungan itu terkungkung dalam perasaan, tindakan dan sikap yang negatif, maka bantuan mungkin dibutuhkan untuk mencari solusinya – atau untuk mengembangkan pengalaman interaksi dan situasi yang lebih positif. Agar hubungannya berkembang, maka perlu membangun kembali kemampuan berkomunikasi dengan empati dan saling menyesuaikan. Aadaptasi yang alami dan transformasi prinsip-prinsip dasar interaksi dapat terjadi di dalam “atmosfir” pengalaman yang positif dan saling berbagi.

Dengan bantuan prinsip-prinsip individual dalam program ICDP, pengasuh diundang untuk mengikuti proses di mana pengakuan, penemuan dan perkembangan interaksi lebih lanjut merupakan kuncinya. Dengan titik awal pada anak, pengasuh, dan situasi saat ini, dalam banyak hal interaksi menjadi sebuah perjalanan penemuan, sebuah proses yang biasanya mempunyai kecenderungan “terpasang tetap” untuk meningkat dalam kompleksitasnya dan senantiasa menjadi pengalaman baru. Tetapi perkembangan ini selalu terkait dan didasarkan atas potensi anak sendiri, situasi tertentu, dan kemampuan pengasuh untuk memobilisasi potensinya sendiri untuk berinteraksi secara sensitif, beradaptasi serta berkembang. Kombinasi antara sensitifitas pengasuhan, motivasi, tantangan dan bimbingan inilah yang menandai hubungan kokoh di mana perkembangan psikososial, pembelajaran dan pembentukan kompetensi dapat terjadi. Intervensi dini yang berorientasi interaksi adalah untuk membantu membangun kembali dan mengembangkan lebih lanjut kualitas-kualitas ini dalam interaksi.

Semua interaksi antara pengasuh dan anak memiliki pola tersendiri, dan baru setelah kualitas-kualitasnya yang penting berkurang atau hilang secara sistematis bahwa pola ini mengandung “resiko” bagi perkembangan psikososial. Kualitas-kualitas dalam interaksi merupakan sebuah potensi bagi perkembangan dan peningkatan yang berkesinambungan dalam saling keterkaitan yang dinamis. Oleh karena itu, kualitas-kualitas tersebut tidak boleh dipandang sebagai bagian dari sebuah “resep”, tetapi merupakan kualitas dalam pengalaman interaksi yang senantiasa berubah, dan merupakan tantangan bagi kita untuk terus menciptakan dan mengembangkan lebih lanjut hubungan pribadi yang dekat.

Pentingnya Bantuan Berorientasi Interaksi bagi Anak Usia Prasekolah
Secara tradisional, intervensi dini berfokus pada perlakuan yang dilaksanakan pada tahun-tahun prasekolah dan mencakup aktivitas di rumah dan panti asuhan anak. Karena keterbatasan ruang di sini, penulis tidak dapat memberikan kajian literatur yang komprehensif mengenai area ini. Pentingnya hubungan antara orang dewasa dan anak serta hubungan antara anak dan anak di panti asuhan anak telah dikaji dalam teori dan penelitian selama 30 tahun terakhir ini. Program ICDP telah dilaksanakan secara sistematis untuk memperbaiki interaksi antara orang dewasa dan anak di panti asuhan anak di Norwegia dan telah menunjukkan hasil positif. Sehubungan dengan program bimbingan orang tua di Norwegia, sejumlah rekomendasi (Hundeide1996) dan tayangan video untuk itu telah dibuat.


lalu bagaimana cara kita untuk membantu meningkatkan kesejahteraan anak berkebutuhan khusus?

masalah anak yang “beresiko” perlu perhatian khusus di sini. Tahun 1980-an dan 1990-an, sejumlah publikasi dan laporan penelitian mendokumentasikan pentingnya bantuan dini untuk meningkatkan pengalaman dan kemungkinan perkembangan anak, terutama bila mereka rentan untuk mengembangkan pola interaksi yang tidak diinginkan.

Beberapa contoh penelitian mengenai anak-anak yang berkebutuhan khusus yang memperoleh manfaat besar dari perlakuan berorientasi interaksi dini adalah sbb:

Anak-anak yang berat badannya rendah pada waktu lahir
Anak-anak yang hiperaktif dan mengalami gangguan konsentrasi
Anak-anak penyandang cerebral palsy
Anak-anak tunagrahita usia dini
Anak-anak yang hidup dalam kondisi sosial emosional yang sulit
Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan dan berkekurangan
Anak-anak tunarungu atau tunanetra
Anak-anak penyandang Down syndrome
Anak-anak penyandang infantile autism / Asperger Syndrome
Dengan kata lain, sebagian besar anak yang mengalami suatu bentuk gangguan fungsional atau perkembangan.
Dalam konteks ini, kita tidak dapat membahas secara detil mengenai efek perlakuan dini yang telah didokumentasikan dalam penelitian internasional. Terdapat sejumlah literatur yang komprehensif yang berisikan kumpulan hasil sejumlah penelitian (Fonagy 1996; Guralnick 1989; Rye 1993; Greenspan & Wieder 1998). Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa jika pola interaksi yang tidak diinginkan pada anak kecil berlangsung selama masa sekolahnya, akan lebih sulit lagi untuk mengubahnya.

Menerapkan Kedelapan Prinsip Bimbingan Interaksi untuk Anak Usia Sekolah

Pentingnya Kualitas Interaksi di Sekolah
Walaupun tugas pengajaran yang paling penting itu didasarkan atas transfer pengetahuan, tetapi peran sekolah dalam membesarkan dan mensosialisasikan anak juga merupakan hal yang penting. Sebagaimana halnya taman kanak-kanak, secara tradisional sekolah tidak secara sistematis membimbing orang tua untuk membesarkan anaknya dan berinteraksi dengan anaknya. Dan, pada umumnya, sekolah tampaknya kurang memperhatikan interaksi antara anak dengan orang dewasa dibanding dengan panti asuhan anak. Namun di sini terdapat kepastian tentang potensi dan dukungan yang signifikan untuk perluasan dan peningkatan kerjasama guru agar berfungsi dalam hubungannya dengan orang tua, serta peningkatan hubungan antara guru dan siswa di kelas. Untuk mengilustrasikan pentingnya kualitas interaksi di sekolah, kita dapat menyebutkan penelitian yang terkait dengan sikap mengasuh anak, termasuk penelitian mengenai arti otoriterian1 dan "sikap otoritatif" sebagaimana dijelaskan oleh Baumrind & Black (1967).

Penelitian komprehensif internasional telah menunjukkan hubungan yang sistematis antara sikap orang tua dan guru di satu pihak, dan pembelajaran dan penyesuaian sosial anak di pihak lain, di mana “sikap otoritatif”, khususnya, membawa hasil positif (Dornbusch et al. 1987; Lamborn et al. 1991; Steinberg et al. 1992; Baumrind & Black 1967; etc.). Sikap otoritatif ditandai dengan orang dewasa berfungsi sebagai contoh baik bagi anak dan secara jelas menunjukkan pemahaman, nilai-nilai dan kedudukan pribadinya sendiri sebagaimana tercermin dalam aktivitasnya sehari-hari.

Beberapa karakteristik sikap otoritatif yang penting adalah sbb:

Secara jelas mengkomunikasikan persepsi, sikap dan reaksi
Mengungkapkan norma-norma dan nilai-nilai yang jelas yang dianggap adil bagi anak dan dapat dimengerti oleh anak.
Menunjukkan kasih tapi juga sikap tegas dalam mendidik anak
Mendukung dan mengiyakan sikap dan upaya anak yang positif dan menunjukkan reaksi yang jelas dan dapat diprediksi terhadap sikap yang tidak diinginkan
Menempatkan tuntutan pada anak sesuai dengan kemampuan dan perkembangan anak
Membiarkan anak bertanggung jawab sendiri atas pengalamannya sejauh tingkat perkembangan dan situasinya memungkinkan
Anak-anak yang tumbuh dengan sifat-sifat ini di rumah, di panti asuhan anak, dan di sekolah, akan tumbuh dengan rasa aman, mempunyai kesan diri yang positif dan menunjukkan kedewasaan dan kemandirian sebagai orang dewasa muda.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, transformasi kedelapan prinsip interaksi biasanya terjadi secara alami dan tidak tercermin dalam interaksi anak-orang dewasa bila anak sudah berkembang dan dapat ikut serta dalam aktivitas bersama yang lebih kompleks. Jadi, kedelapan prinsip tersebut juga dapat diterapkan dalam konteks sekolah. Pada dasarnya isinya sama tetapi diterapkan pada konteks baru di mana prinsip-prinsip itu dapat dikenali dan digunakan sebagai petunjuk bagi interaksi sosial di sekolah. Pada proyek Sæby di Denmark, prinsip-prinsip tersebut secara sistematis diterapkan pada interaksi antara guru dan siswa di sekolah lokal dengan dirumuskan ulang sebagai masukan bagi guru (Blær et al. In press).

Menerapkan kedelapan prinsip pada anak usia sekolah:
Interaksi guru-siswa.

Menunjukkan perasaan positif
Tunjukkan bahwa anda berminat pada siswa, bahwa anda bertanggung jawab untuk mengurusnya, akan bekerja sama dengannya, dan akan membantunya untuk memperoleh kesenangan dan belajar di sekolah.


Beradaptasi dengan siswa
Sesuaikan cara bekerja anda dan kaitkan dengan siswa dengan memperhatikan dan mengakui inisiatif siswa serta sedapat mungkin memperhatikan cara belajarnya secara individual.


Berbicaralah dengan siswa
Kaitkanlah pengajaran anda dengan minat siswa, dan ajaklah mereka untuk berpartisipasi dalam dialog mengenai isi tema yang anda sajikan sehingga mereka terlibat secara pribadi.


Berikan pujian dan penghargaan
Berikan pujian dan penghargaan kepada tiap siswa dan kepada seluruh kelas bila siswa membuat upaya untuk bekerja sama, mengikuti instruksi anda dan bekerja sebaik yang mereka mampu.


Bantu siswa memfokuskan perhatiannya
Pastikan bahwa anda mendapatkan perhatian penuh dari anak yang anda ajar, berikan saran atau bekerja dengan mereka. Perhatian dan pengalaman bersama merupakan sebuah prasyarat untuk komunikasi.


Buatlah pengalaman siswa menjadi bermakna
Buatlah pengajaran anda bermakna – tidak hanya yang terkait dengan apa yang anda bahas, tunjukkan atau jelaskan, tetapi juga dengan menunjukkan keterlibatan anda terhadap subyek secara pribadi. Dengan cara ini anda memberikan pemahaman kepada siswa bahwa hal-hal tertentu lebih penting daripada hal lainnya, misalnya nilai-nilai, norma-norma dan tradisi.


Jabarkan dan jelaskan
Bantu siswa mengaitkan materi yang mereka pelajari dengan mata pelajaran lain dan aktivitas akademik lainnya. Ini memberikan wawasan, membantu membentuk asosiasi, membantu siswa mencapai “pengalaman nyata” yang lebih holistik dan memancing keingintahuan dan motivasi untuk belajar.


Bantu siswa mencapai disiplin diri
Bantu siswa beradaptasi secara akademik dan pribadi terhadap lingkungan dan aktivitas sekolah dengan membuat perencanaan kegiatan yang jelas dan menunjukkan sikap dan reaksi yang khas dan dapat diprediksi. Dengan membiarkan siswa membantu merencanakan aktivitas dan memberikan penjelasan yang dapat dimengerti bila sesuatu hal tidak memungkinkan, anda dapat membantu mereka menjadi lebih termotivasi untuk bekerjasama. Prediktabilitas lebih baik daripada teguran dan larangan yang terus menerus.
Sebagaimana dijelaskan di atas, prinsip-prinsip ICDP tidak terbatas pada anak kecil. Melainkan, sebagian besar dari prinsip-prinsip itu relevan dalam interaksi antara orang dewasa dan anak hingga anak mencapai usia dewasa, dan prinsip-prinsip yang berorientasi komunikasi itu penting dalam komunikasi antar pribadi seumur hidupnya. Sebagai bagian dari program bimbingan orang tua nasional yang dimulai di Norwegia pada tahun 1995, dasar pemikiran teoritis di balik aplikasi program ICDP di sekolah, serta pertunjukan videonya, telah tersedia (Hundeide 1999).

Salah satu persyaratan terpenting bagi anak untuk tumbuh pesat di sekolah, belajar dan berkembang secara sosial dan emosional, adalah bahwa mereka merasa aman dan senang berada di kelas. Namun, menyenangi sekolah tidak hanya tergantung pada interaksi yang positif antara guru dan siswa, tetapi juga pada kualitas interaksi antara siswa dengan siswa. Oleh karena itu penting ditemukan cara agar prinsip-prinsip dalam program ICDP dapat digunakan untuk mempromosikan perkembangan lingkungan kelas yang positif. Untuk secara sistematis menerapkan prinsip-prinsip tersebut demi meningkatkan interaksi antar siswa dalam seting yang realistik, prinsip-prinsip tersebut diimplementasikan dalam lingkungan kelas pada proyek Sæby untuk membantu guru mengembangkan hubungan yang lebih positif di antara para siswa di kelasnya. Prinsip-prinsip tersebut diformulasikan sebagai saran bagi guru.

Delapan prinsip yang dirumuskan bagi guru untuk meningkatkan interaksi antara siswa dengan siswa:

1. Tunjukkan perasaan positif

Perhatikan perasaan positif yang diungkapkan siswa satu sama lainnya.
Berikan komentar dan pengakuan yang positif bila siswa menunjukkan perasaan positif dan menerima satu sama lainnya.
Bahas tema “menunjukkan perasaan positif” di kelas.
Kemukakan bagaimana rasanya bila mengungkapkan atau mengalami perasaan negatif atau penolakan.
Minta siswa agar menciptakan “iklim” emosional yang menyenangkan di kelas melalui diskusi kelompok, dramatisasi, permainan, diskusi tentang film yang cocok, dll.
Perasaan dapat juga dikaitkan dengan tema “kesejahteraan” yang dapat dibahas secara rutin dalam diskusi kelas. Misalnya, tanyakan apa yang dimaksud dengan “kesejahteraan”? apa yang membuat anak menyenangi atau tidak menyenangi sekolah?
2. Bantu siswa untuk saling menyesuaikan diri

Bantu siswa “menyesuaikan” dengan kebutuhan dan keadaan satu sama lain dalam interaksi sehari-hari dengan berdiskusi dalam kelompok tentang apa yang dimaksud dengan “saling menyesuaikan diri”. Dramatisasi dan ilustrasi melalui film yang tepat dapat menjadi sebuah titik awal untuk meningkatkan kesadaran.
Bantu siswa bekerja sama dengan membuat mereka sadar akan pentingnya “menyesuaikan diri” dengan cara orang lain bekerja, minat orang lain dan karakter orang lain. Empati dan saling menyesuaikan diri merupakan sebuah prasyarat untuk kerjasama di dalam dan luar sekolah.
Bantu siswa menyadari bagaimana kerjasama terganggu jika semua orang bertindak sesuka hatinya dan bagaimana kerjasama berjalan baik jika mereka “menyesuaikan diri”, saling berbagi, dan sepakat dengan cara mereka bekerja bersama.
Cocok untuk dramatisasi.
Bahas secara reguler tema “kerjasama” dalam diskusi kelas.
3. Bantu siswa membicarakan pengalaman bersama

Aturlah agar para siswa dapat membicarakan tentang apa yang sedang diajarkan dan apa yang mereka alami bersama. Cara termudah untuk memastikan setiap orang terlibat dalam diskusi tersebut adalah dengan membagi mereka ke dalam kelompok kecil di mana mereka dapat membahas mengenai tema kunci di kelas.
Bantu siswa agar bergiliran membagi pengalaman atau pendapatnya satu sama lain. Ini juga lebih mudah dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil.
Jika beberapa siswa lebih aktif dari yang lain, guru harus menjadi “moderator” dan memastikan siswa yang pendiam dan pemalu juga diarahkan untuk mengungkapkan pendapat dan pengalamannya.
Siswa perlu belajar untuk “berbicara satu sama lain”, bergiliran dan menerima bahwa ada lebih dari satu cara memahami sesuatu atau mengekspresikan diri.
4. Dorong siswa untuk mengekspresikan penerimaan, pujian dan penghargaan.

Penghargaan dan penerimaan dari guru merupakan contoh penting, khususnya dalam cara mengungkapkannya mengingat banyaknya siswa yang berbeda-beda.
Penting untuk mengkomunikasikan mengapa sesuatu itu positif dan berhak atas penghargaan atau pujian.
Bahas dengan siswa mengenai pentingnya saling memberi dorongan dan mengungkapkan penghargaan dalam interaksinya di sekolah.
Ambil tema “dorongan dan pengakuan” dalam diskusi kelas dan bantu
Siswa belajar memahami bagaimana rasanya mendapat respon positif dari seseorang dibanding respon negatif. Dramatisasi dapat menjadi cara yang baik untuk mengilustrasikan ini.
5. Bantu siswa memfokuskan perhatiannya pada kegiatan bersama.

Bantu siswa mengarahkan perhatiannya pada apa yang mereka lakukan terhadap siswa lain atau dalam kelompok.
Bantu siswa agar saling mendengarkan dan mencoba memahami apa yang dicoba dikomunikasikan oleh siswa lain.
6. Bantu siswa saling berbagi pengalaman dengan cara yang bermakna.

Dorong siswa untuk menceritakan apa yang telah dialaminya atau yang ingin mereka ceritakan kepada kelompoknya serta menceritakan perasaannya tentang pengalaman tersebut.
Gunakan dramatisasi atau bermain peran, misalnya, agar makna verbal dan emosional yang diekspresikannya itu menjadi hidup.
7. Bantu siswa saling mengungkapkan dan menjelaskan pengalaman dan pendapatnya.

Dorong siswa untuk menceritakan, mengkomunikasikan dan menjelaskan apa yang mereka alami dan terlibat di dalamnnya bersama-sama.
Sering kali ini paling mudah dilakukan dalam seting kelompok.
Bantu siswa memperluas cakupan caranya berkomunikasi dengan menceritakan tentang minatnya dan mengaitkan minat tersebut pada orang lain, tempat lain dan kurun waktu yang lain.
8. Bantu siswa mengembangkan disiplin diri

Bahas dengan siswa pentingnya mematuhi “peraturan dasar” tertentu dan rutinitas tertentu bila mereka berada di dalam kelas dan di tempat lain di lingkungan sekolahnya.
Biarkan siswa sebagai sebuah kelompok ambil bagian dalam menentukan cara mereka bekerjasama dan saling berhubungan.
Biarkan para siswa sebagai sebuah kelas, berkelompok, atau berpasangan, merencanakan cara memecahkan masalah bersama, siapa yang akan melakukan apa, kapan berbagai aktivitas akan dilakukan, dan bagaimana mereka akan meraih hasil bersama.
Berikan pujian dan pengakuan bila siswa dapat bekerjasama, saling tenggang rasa, dan saling menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan keinginan masing-masing demi tujuan umum bersama untuk bekerja bersama.
Perbedaan utama antara pendekatan yang instruktif dengan pendekatan yang berorientasi sumber yang suportif dan fasilitatif terhadap interaksi antara pengasuh dan anak

Penelitian empiris tahun 1970-an dan 1980-an dengan jelas menunjukkan bahwa sensitifitas pengasuh, kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan status anak, keterlibatan dan keinginan untuk membantu anak memperoleh pengalaman dan belajar memegang peran penting dalam perkembangan anak. Pengakuan ini mengarah pada pengembangan sejumlah program yang dirancang untuk meningkatkan kualitas interaksi antara orang tua dan anak. Sebagaimana disebutkan di atas, program-program ini sejak awal diarahkan untuk mengajari orang tua apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana cara melakukannya, untuk menstimulasi pembelajaran dan mendorong perkembangan anak.

Gagasan untuk mendasarkan intervensi psikososial dini pada peningkatan sensitifitas pengasuh terhadap kebutuhan dan situasi anak, meningkatkan kesadaran akan kemampuan pengasuh sendiri dan kesempatannya untuk mendorong perkembangan anak dan memunculkan kembali kemampuannya untuk berempati melalui partisipasi dalam aktivitas sehari-hari anak dan turut merasakan perasaannya, telah menandai pendekatan baru untuk memperbaiki perlakuan pengasuhan anak dan meningkatkan kesempatan belajar anak.

Ini merupakan pendekatan berorientasi sumber yang didasarkan atas pengertian bahwa kebanyakan pengasuh, melalui kematangan dan pengalamannya sendiri, memiliki potensi untuk mengasuh dan bergaul dengan anak, sebuah fondasi penting bagi interaksi yang dapat membangun perkembangan lebih lanjut.

Program “generasi kedua” untuk intervensi dini dikembangkan selama 15 tahun terakhir ini– yang dicontohkan oleh Marte Meo, MISC dan program ICDP – ditujukan untuk mendukung dan mengembangkan lebih lanjut kualitas-kualitas positif yang sudah ada dalam pengasuhan dan interaksi dengan anak. Adalah potensi untuk interaksi positif yang harus merupakan fondasi bagi pengembangan lebih lanjut melalui kerjasama dengan para penasehat profesional.

Kelebihan-kelebihan dari pendekatan baru yang berdasarkan interaksi positif itu dapat dirangkum sbb:

Mengaktifkan kembali dan mengembangkan lebih lanjut kualitas-kualitas positif yang telah ada pada pengasuh dalam hal pengasuhan dan interaksi dengan anak, misalnya memulai dengan delapan prinsip bimbingan dari program ICDP;
Meningkatkan sensitifitas dan kesadaran pengasuh terhadap kebutuhan dan tingkat perkembangan anak;
Meningkatkan kesadaran diri pada pengasuh, rasa percaya dirinya, motivasi dan pemahaman tentang kemampuan mereka sendiri untuk mendukung dan meningkatkan perkembangan anak;
Mengembangkan persepsi positif tentang anak dan berbagai peluang yang ada pada diri anak;
Mengembangkan pengertian yang lebih baik tentang pentingnya interaksi antara pengasuh dan anak dalam kaitannya dengan perkembangan anak.
Sebagaimana dikemukakan pada poin-poin di atas, tujuannya adalah untuk mengaktifkan atau mengaktifkan kembali keterampilan yang telah dimiliki oleh pengasuh atau secara potensial dapat dimilikinya, yaitu keterampilan yang dapat digunakan dan dikembangkan. Pendekatan ini menyentuh pada pengertian bahwa pola interaksi yang didasari oleh pengalaman dari masa remaja sendiri – dan diintegrasikan ke dalam perasaan yang kuat dan hubungan antar pribadi– hanya dapat diubah secara marjinal melalui informasi dan bimbingan. Kemampuan dasar dan pola interaksi yang sudah dimiliki merupakan titik tolak yang penting. Dukungan pribadi berorientasi sumber dapat membuat proses ini berjalan, dan jika pengasuh belajar untuk mengenali dan mengeksplorasi interaksinya sendiri dan memfokuskan perhatiannya pada aspek-aspek positif yang sudah dimilikinya, kualitas-kualitas positif ini dapat dipupuk dan dikembangkan.

Pengalaman menunjukkan bahwa bila proses seperti ini dijalankan, maka kandungan negatif dalam interaksi itu akan berkurang (Rye 1993)

Dalam kasus-kasus tertentu, bila membangun interaksi yang bermakna itu sangat sulit untuk dilakukan, maka bantuan profesional mungkin dibutuhkan.

Beberapa contoh khas adalah sbb:

Bila anak terlahir dengan berat badan rendah, mempunyai kelainan atau disfungsi;
Bila orang tua dan anak mempunyai temperamen yang sangat berbeda dan orang tua kurang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri;
Bila orang tua sangat tidak dewasa dan kurang mempunyai kemampuan untuk berempati atau mengasuh anak, atau tidak dapat menyesuaikan interaksinya dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan anak;
Bila orang tua hidup dalam konflik dan keadaan sulit dan tidak mempunyai energi untuk mengasuh anak;
Bila orang tua mengalami gangguan psikologis dengan suasana hati yang sangat berubah-ubah dan pola asuhnya tidak dapat diprediksi;
Bila penyalahgunaan obat-obatan menandai kehidupan sehari-hari orang tua dan tingkat keberfungsiannya;
Bila interaksi antara anak dan pengasuh mencerminkan pengabaian dan pelecehan;
“Resiko” psikososial bagi anak-anak ini terutama terletak pada kenyataan bahwa mereka dan/atau pengasuhnya tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk mengembangkan interaksi yang bermakna dan stabil, yang merupakan titik tolak bagi semua perkembangan sosial dan mental.
Membangun interaksi yang bermakna bahkan dapat lebih sulit lagi dengan anak yang mengalami gangguan perkembangan dan fungsional yang serius karena hal-hal berikut:

Upaya mereka untuk berkomunikasi sering kali tidak dipahami, diabaikan, diacuhkan, atau tidak direspon secara sistematis;
Sering kali mereka tidak mengerti bahwa mereka dapat mempengaruhi lingkungannya atau mengubah keadaan yang berhubungan dengan kebutuhannya.
Anak-anak tanpa ketunanetraan atau ketunarunguan, atau tanpa gangguan otak yang serius dan lumpuh, biasanya akan belajar untuk mempengaruhi lingkungannya dengan senyum, suara, meniru, ekspresi wajah atau gerakan tubuh bila pengasuh bereaksi positif terhadap isyarat-isyarat dan inisiatif tersebut. Oleh karena itu, bentuk-bentuk komunikasi seperti ini diperkuat dan terus berkembang. Hal yang sama berlaku pula bagi anak-anak yang menyandang kecacatan fungsional, tetapi upaya dini untuk berkomunikasinya sering kali diabaikan dan upaya tersebut cenderung melemah.
Anak-anak dengan kecacatan fungsional perlu ambil bagian dalam tema komunikasi yang sama dengan anak-anak lain. Interaksi harus mengandung cara berkomunikasi yang bermakna.
Anak-anak dengan kecacatan fungsional hanya dapat belajar berkomunikasi dengan cara yang bermakna jika kita belajar memahami sinyal dan cara mereka mengekspresikan diri; mulailah dari situ, dan bersama-sama dengannya kembangkanlah dunia bermakna dan pengertian bersama.
Dengan mendukung kemampuan anak untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara yang bermakna, kita akan dapat membuka jalan bagi pengalaman termediasi dan pembelajaran yang didasarkan atas potensi dan sumber-sumber yang dimilikinya.
Tentang interaksi dan kerjasama antara guru dan orang tua

Tentang pandangan sekolah terhadap peran orang tua dalam membesarkan anak dan pembelajarannya

Walaupun tujuan resmi sekolah menekankan kerjasama dengan orang tua, tetapi sekolah-sekolah di Norwegia secara tradisional hanya menyelenggarakan dua kali konferensi guru-orang tua dalam satu tahun ajaran, yaitu satu konferensi di musim gugur dan satu lagi di musim semi. Tentu saja kita dapat berargumen bahwa ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa sekurang-kurangnya ada dua konferensi bagi orang tua dan guru, dan bahwa kerjasama dengan orang tua di luar ini tergantung pada inisiatif orang tua dan guru. Namun, merupakan suatu hal yang alami untuk menafsirkan bahwa pengaturan tentang dua konferensi orang tua-guru per tahun tersebut sebagai sebuah ungkapan tentang bagaimana sekolah memandang peran dan fungsi orang tua dalam pendidikan dan pengajaran anak. Pada umumnya, kedua konferensi tersebut berfungsi sebagai pertemuan untuk menyampaikan informasi, di mana pada musim gugur guru menginformasikan kepada orang tua mengenai program pengajaran untuk tahun ajaran yang akan berjalan, dan di musim semi guru menginformasikan bagaimana pengajaran dan kelas telah berkembang selama satu tahun ajaran. Tanggung jawab mengenai isi pengajaran dan implementasinya di kelas jelas merupakan tanggung jawab sekolah dan guru. Tanggung jawab untuk kegiatan belajar siswa sebagaimana dituntut oleh kurikulum terletak pada kemampuan masing-masing siswa – melalui kegiatan di kelas dan pekerjaan rumah. Peran orang tua terkait dengan kegiatan membesarkan anak, merawat dan mengasuhnya dan membantu pekerjaan rumahnya. Secara umum, sekolah – tetapi mungkin lebih banyak terjadi di sekolah menengah atas dibanding sekolah dasar - tampaknya tidak banyak menekankan pada pengembangan hubungan erat dengan orang tua, yang dapat merupakan jembatan antara lingkungan rumah dan lingkungan sekolah, dan antara pengalaman anak di dalam dan di luar sekolah. Sekolah tampaknya tidak mempertimbangkan bahwa kontak antara orang tua dengan guru dan rasa kerjasama siswa, saling pengertian, dan dukungan antara rumah dan sekolah, dapat berdampak secara signifikan terhadap kesejahteraan siswa, pembelajaran dan perkembangannya melalui tugas-tugas sekolah. Hanya bila masalah tertentu muncul dalam pembelajaran siswa dan penyesuaian dirinya ke sekolah maka kontak antara orang tua dan sekolah menjadi lebih intensif – dan kemudian seringkali dengan fokus memecahkan masalah yang sebenarnya dapat terpecahkan seiring dengan berjalannya waktu. Pada prakteknya, upaya sistematis untuk membangun hubungan saling percaya dan kerjasama sebagai dasar untuk kesejahteraan anak, rasa aman dan pembelajarannya, hanya mendapat sedikit penekanan. Sekolah tidak mempunyai tradisi menggunakan pendekatan yang holistik untuk mendidik anak, pembelajaran dan perkembangan anak, di mana kerja sama antara rumah dan sekolah merupakan inti dari upaya anak untuk menghubungkan pengalaman sehari-hari ke dalam satu kesatuan yang bermakna.

Kerjasama antara orang tua dan sekolah dapat digambarkan atas dasar bermacam-macam tingkat keterlibatan orang tua:

Orang tua sebagai mitra dalam pendidikan anak, tetapi pasif dalam kaitannya dengan pendidikan formal anak yang diberikan di sekolah. Dua dunia bagi anak: rumah dan sekolah tidak merupakan pengalaman yang berbeda namun saling melengkapi, tetapi dua perangkat sikap, persepsi dan cara menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari yang jauh berbeda. Kurangnya kerjasama tersebut memberikan sedikit kesempatan untuk menghindari masalah pembelajaran dan penyesuaian.
Orang tua sebagai pemain pendukung dalam pekerjaan sekolah. Mereka familiar dengan rencana dan praktek sekolah, mengatur anaknya untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan juga memainkan peranan yang sangat penting sebagai pengasuh anak di rumah. Bentuk kerjasama ini mungkin yang paling umum dan pada umumnya berfungsi dengan baik bila orang tua dan anak tidak mempunyai kebutuhan khusus.
Orang tua, di samping perannya sebagai pengasuh anak, merupakan peserta aktif dalam pekerjaan sekolah, bekerjasama dengan guru dalam hal pekerjaan sekolah dan PR, membesarkan anak dan memperhatikan kehidupan sosial anak di dalam dan di luar sekolah. Integrasi antara lingkungan rumah dan sekolah menjadi lingkungan yang lebih terpadu, dengan kesamaan dalam sikap, norma dan nilai dalam kaitannya dengan dunia sosial dan pribadi anak, pembelajaran dan perkembangannya. Bentuk kerjasama seperti ini telah terbukti mempunyai dampak positif terhadap kesejahteraan, pembelajaran dan perkembangan anak dan membantu mencegah kesulitan belajar dan penyesuaian diri. Bagi anak yang berkebutuhan khusus, jenis hubungan yang erat, saling percaya dan kooperatif ini sangat penting bagi kesejahteraannya, penyesuaian sosialnya, dan belajarnya.
Tingkatan di mana orang tua bersedia dan dapat berkerjasama dengan sekolah itu bervariasi.
Sejauh mana orang tua bersedia untuk secara aktif bekerjasama dengan sekolah tergantung pada minat, kemampuan kesempatan dan kadang-kadang motivasinya. Orang tua sering menetapkan standar tinggi bagi guru; mereka mengharapkan guru akan mengidentifikasi kebutuhan, mengambil inisiatif dan membuat rencana praktis untuk mengembangkan dan memelihara hubungan kerja yang baik dengan orang tua.

Sekolah ada untuk memenuhi kebutuhan anak untuk belajar dan berkembang menjadi “orang baik”, pembelajaran dan perkembangan yang hanya terjadi dalam kerjasama yang erat dengan orang tua dan lingkungan rumah. Guru adalah profesional dalam bidang pendidikan, tetapi kini kita tahu bahwa pekerjaan guru tidak akan berhasil secara optimal tanpa masukan dari orang tua.


Oleh karena itu guru harus berbuat sedapat mungkin untuk menjalin hubungan kerjasama yang baik, dan menyesuaikan hal ini dengan kebutuhan yang relevan dari tiap anak dan orang tua. Dalam kenyataannya ini berarti membentuk apa yang disebut kemitraan dengan orang tua.

Agar ini berhasil, terdapat beberapa tuntutan terhadap guru:

Guru harus memahami bahwa orang tua mempunyai kapasitas dan kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu guru harus mempunyai sikap yang fleksibel terhadap bentuk kerjasama yang hendak diciptakannya serta terhadap apa yang dapat diharapkannya dari hubungan kerjasama itu.
Guru harus mempunyai keinginan dan kemampuan untuk mengembangkan hubungan kerja dengan orang tua yang memiliki beragam kemampuan, minat dan latar belakang.
Sebagaimana halnya dengan guru, orang tua pun secara signifikan berbeda-beda. Orang tua mempunyai bermacam-macam pengalaman dibesarkan dan bersekolah, yang akan membentuk dasar bagi persepsinya tentang sekolah dan tugas guru. Sikap mereka terhadap kerjasama dan persepsinya tentang perannya dalam persekolahan anaknya akan sangat bervariasi.

Sebagaimana halnya ada anak yang berkebutuhan khusus, terdapat pula orang tua yang berkebutuhan khusus:

Orang tua mempunyai bermacam-macam persepsi tentang dirinya sendiri, tentang apa artinya menjadi orang tua dan tentang apa yang dapat mereka kontribusikan pada situasi sekolah, dan oleh karenanya kapasitasnya pun akan sangat bervariasi ketika mereka memasuki kerjasama dengan guru mengenai pendidikan dan perkembangan anaknya.
Orang tua bervariasi dalam hal kehidupan sosial dan sehari-harinya, kehidupan pribadinya, waktu yang mereka miliki, stres yang mereka alami, dan tingkat kemungkinannya untuk bekerja secara aktif dengan guru.
Di samping itu, anak-anak bervariasi dalam perkembangan sosial dan intelektualnya, sikapnya dan caranya belajar di sekolah. Jenis kerjasama yang dibutuhkan orang tua bervariasi dalam hal tingkatannya, isinya dan bentuk organisasinya.
Terdapat perbedaan yang sangat beragam pada anak-anak, kehidupan rumahnya dan pengalaman mereka di sekolah dan, terdapat perbedaan yang cukup beragam pula pada orangtuanya – yang sangat penting dalam membangun jembatan penghubung antara sekolah dan rumah. Kerjasama antara sekolah dan rumah menuntut pemikiran yang mendalam tentang konsepsi peran sekolah secara umum, dan demikian pula tentang peran guru dalam kaitannya dengan anak dan kerjasama dengan orang tua mengenai pembelajaran dan perkembangan anak. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa tantangan untuk menciptakan dasar kerjasama yang baik dengan orang tua itu memerlukan wawasan, fleksibilitas, kemampuan untuk berempati dan kontak pribadi yang sangat bervariasi. Hubungan kerjasama itu harus disesuaikan dalam bentuknya maupun isinya dengan kebutuhan individu anak dan orang tua.

Contoh-contoh bermacam-macam tipe orang tua yang berkebutuhan khusus:

Orang tua yang pada umumnya merasa tidak yakin mengenai perannya sebagai orang tua, khususnya dalam kaitannya dengan pendidikan anaknya di sekolah.
Orang tua yang mempunyai pengalaman negatif dengan kegiatan sekolahnya sendiri, baik secara akademik, sosial ataupun keduanya , yang membuat mereka cemas atau khawatir akan pendidikan di sekolah anaknya.
Orang tua yang melihat sekolah sebagai institusi yang otoriter dan memandang guru dengan kecurigaan dan mengambil jarak, dan sangat kritis atau bersikap negatif terhadap kerjasama.
Orang tua yang melihat peran sekolah hanya sebagai penyedia informasi, yang tidak menyadari kebutuhan emosional dan sosial anak dalam konteks sekolah.
Orang tua yang sejak awal negatif terhadap kerjasama apapun dengan sekolah, yang dengan jelas menetapkan batas antara sekolah dan rumah, dan yang enggan melihat lingkungan rumah sebagai hal yang relevan dengan pendidikan anaknya. Jika harus ada kerjasama, harus dilaksanakan secara eksklusif sesuai dengan kehendak orang tua.
Orang tua yang bersedia bekerjasama tetapi mempunyai kehidupan sehari-hari yang tidak teratur sehingga tidak dapat menindaklanjuti rencana baik atau kesepakatan yang telah dicapai bersama.
Orang tua dengan anak yang berkebutuhan khusus dan banyak tuntutan, sering kali dikombinasikan dengan perkembangan mental dan/atau fisik yang cenderung menyimpang.
Orang tua yang mengalami masa remaja dan pendidikan yang bermasalah dan yang mempunyai anak berkebutuhan khusus – berarti orang tua memandang pendidikan anaknya sebagai suatu hal yang sulit untuk ditangani.
Orang tua dengan latar belakang budaya, sosial dan bahasa yang sangat berbeda, di mana nilai-nilai dan sikap terhadap pengasuhan dan pendidikan sekolah anaknya berbeda secara fundamental.
Orang tua yang kesehariannya diisi dengan komitmen dan tanggung jawab yang membuat stres, yang menguras energinya dan tidak mempunyai waktu untuk mengikuti keseharian anaknya.
Beberapa pertanyaan yang harus dipertimbangkan oleh guru:

Apakah guru melakukan pendekatan kepada orang tua dengan mempertimbangkan kebutuhan individualnya?
Apakah guru mendengarkan apa yang dikomunikasikan oleh orang tua secara langsung ataupun tidak langsung serta menindaklanjutinya?
Apakah guru berusaha menempatkan dirinya menurut cara pandang sebagai orang tua dan memahami persepsi, pemikiran, kekhawatiran dan sikap mereka
Apakah guru dapat menyesuaikan sikapnya, cara membuat kontak, dan cara bekerja sama sehingga orang tua dapat berpartisipasi dan mengembangkan hubungan kerja dengan guru?
Apakah guru memahami bagaimana orang tua dapat atau tidak dapat mendukung pendidikan dan kehidupan sehari-hari anak?
Bila hubungan kerjasama itu tidak terjalin dengan baik, faktor-faktor apa yang telah menyebabkan hubungan kerjasama itu menjadi tidak produktif?

Apakah karena guru tidak mengerti atau memahami orang tua sebagai seorang individu?
Apakah karena guru tidak menghargai persepsi, sikap atau nilai-nilai yang dianut orang tua?
Apakah karena persepsi, sikap atau karakter orang tua menciptakan pola negatif dalam interaksinya dengan guru?
Apakah masalahnya berhubungan dengan bias dan prasangka?
Apakah sikap guru telah mengakibatkan hilangnya atau terhambatnya inisiatif positif dan pemecahan masalah dari pihak orang tua, atau apakah guru telah meremehkan atau mengabaikan sumber-sumber yang ada pada orang tua atau tidak memperkenankan orang tua untuk memanfaatkan sumber-sumber ini?
Apakah guru menyadari posisi dan wewenangnya sebagai perwakilan sekolah dalam kaitannya dengan orang tua, dan bagaimanakah posisi dan wewenang tersebut berdampak pada hubungan kerjasama dengan orang tua?
Apakah guru tahu kapan dia perlu menjadi kreatif dan berinisiatif untuk menjalin kontak dan kerjasama dan kapan harus sekedar berfungsi sebagai pemberi dukungan pribadi dan motivasi?
Apakah ada peluang bagi orang tua untuk berinisiatif memecahkan masalahnya dan untuk mengembangkan diri, misalnya melalui kelompok orang tua?
Sebelum guru menunjukkan hal di atas dan masalah kunci lainnya yang berhubungan dengan kerjasama orang tua, kita tidak dapat mengatakan bahwa sekolah sudah mempertimbangkan kerja sama dengan orang tua secara serius. Ini merupakan persyaratan yang sangat penting bagi perkembangan kesadaran yang lebih besar mengenai kerjasama orang tua.
Pola interaksi orang tua merupakan fondasi untuk menjalin dan mengembangkan hubungan kerja dengan orang tua
Bagi orang tua yang berkebutuhan khusus, adanya dua konferensi orang tua-guru per tahun, yang biasa terjadi di Norwegia, tidak mencukupi. Pertemuan-pertemuan ini tepat untuk membangun sebuah dasar bagi pengkoordinasian kegiatan sekolah dan rumah yang produktif bila sejalan dengan kondisi pribadi orang tua serta kerangka kerja budaya dan sosialnya. Ini berimplikasi bahwa guru dan orang tua memiliki kesamaan konsepsi, sikap, tujuan dan pengertian yang penting mengenai apa artinya sekolah. Ini merupakan prasyarat penting bagi kerjasama yang normal antara rumah dan sekolah.

Situasi sekolah-sekolah di Norwegia sekarang ini sangat berbeda dibanding 50 tahun yang lalu, ketika sekolah dirancang untuk memberikan pengajaran kepada kelompok siswa yang homogen secara fungsional maupun budaya. Kini, tujuannya adalah menyelenggarakan sekolah yang inklusif, dengan berbagai macam guru dan berbagai macam bahasa dan latar belakang kebudayaan. Situasi ini menuntut sekolah mengembangkan rencana yang sama sekali berbeda, komprehensif dan terbuka untuk bekerjasama dengan orang tua. Sebuah kerangka kerjasama diperlukan di mana guru dan orang tua dapat mengambil inisiatif untuk bekerjasama di luar kerangka pertemuan pemberian informasi rutin itu, yang kini telah menjadi praktek yang umum. Juga harus dimungkinkan adanya bentuk kerjasama alternatif, pertemuan yang beragam frekuensinya antara guru dan orang tua, fleksibel mengenai tempatnya (misalnya di rumah atau di sekolah) dan lain-lain. Pada banyak kasus dengan orang tua dan anak yang berkebutuhan khusus, penting bagi guru untuk mengawali kerjasama dengan bertemu orang tua di rumahnya. Ini menunjukkan bahwa guru benar-benar tertarik untuk bekerja bersama dan bertemu orang tua dalam kondisi yang sesuai dengan kehendaknya.

Beberapa kualitas kunci dalam interaksi antara guru dan orang tua
Kini kita kembali ke transformasi kualitas interaksi yang ditekankan dalam program ICDP. Sebagaimana halnya dengan interaksi guru dengan siswa dan siswa dengan siswa, kualitas interaksi yang difokuskan oleh ICDP tidak mencakup semua kualitas interaksi yang terjadi antar manusia. Namun kedelapan prinsip interaksi yang dikemukakan di atas merupakan kualitas dasar positif yang paling penting yang ada pada interaksi antar pribadi. Oleh karena itu prinsip-prinsip ini juga dapat diterapkan pada kerjasama yang suportif dan membimbing, yang diperlukan dalam hubungan kerjasama antara orang tua dengan guru.

Kualitas interaksi ICDP yang diadaptasikan untuk kerjasama guru dengan orang tua (seperti rumusan yang digunakan pada proyek Sæby di Denmark)

Tunjukkan bahwa anda tertarik untuk bekerja sama secara aktif dengan orang tua.
Tunjukkan minat positif dan penghargaan atas persepsi, pengalaman, kepedulian dan perasaan orang tua terhadap pendidikan anaknya. Dengarkan apa yang mereka katakan pada anda dan bantu mereka dengan menjabarkan dan menjelaskan apa yang mereka katakan dengan cara yang mendukung dan menerima.


Adaptasikan kerjasama orang tua dengan keadaan dan kebutuhan khusus orang tua dan anak.
Pertimbangkan secara serius persepsi dan pengalaman orang tua dengan pendidikan anaknya dan coba untuk mengakomodasi persepsi orang tua mengenai kebutuhan anaknya sebanyak mungkin. Tetapkan waktu dan tanggal untuk bertemu menurut kebutuhan orang tua dan bekerja bersama mereka untuk mengembangkan rencana yang nyata tentang cara menciptakan situasi sekolah anaknya sebaik mungkin.

Buat konferensi dengan orang tua menjadi suatu bentuk komunikasi timbal balik.
Coba untuk menjalin dialog positif dengan orang tua mengenai pendidikan anaknya. Bahas dengan orang tua bagaimana anda dan mereka memandang pendidikan anaknya. Tunjukkan bahwa anda menghargai pendapat mereka mengenai apa yang dibutuhkan anaknya, bagaimana mereka dapat membantu anaknya dalam pekerjaan rumah, bagaimana pengalaman mereka di sekolah dan bagaimana sikap mereka terhadap sekolah.


Tunjukkan penerimaan dan penghargaan terhadap cara orang tua membantu anaknya dalam kaitannya dengan sekolah.
Tunjukkan dukungan bila orang tua berinisiatif untuk bekerja sama dengan guru dan orang tua lain. Terima, bahas dan terapkan saran konkrit dari orang tua tentang bagaimana meningkatkan situasi anaknya di sekolah. Tunjukkan minat positif terhadap kerjasama dengan orang tua dan bagaimana mereka membantu anaknya agar mengambil manfaat yang sebesar mungkin dari sekolah. Dorong orang tua untuk menciptakan sebuah atmosfer kolaborasi positif dengan anak mengenai pekerjaan sekolahnya dan ungkapkan penghargaan dan apresiasi bila mereka berhasil.


Menyepakati tema utama untuk konferensi bagi para orang tua.
Pada bagian awal konferensi, arahkan minat orang tua pada tema utama yang berhubungan dengan pendidikan anak. Jika perlu, bantu mereka mengungkapkan apa yang mereka rasa akan berhasil dan apa yang dapat menimbulkan kesulitan sehingga anda bersama-sama dapat menghasilkan rencana yang realistik dan dapat diterapkan.


Bantu orang tua untuk merasa bahwa kontribusinya terhadap pendidikan anak itu bermakna.
Melalui sikap positif dan antusias, tunjukkan bahwa kerjasama dengan orang tua penting bagi anda dan pekerjaan anda sebagai guru. Tunjukkan bahwa anda menghargai apa yang mereka lakukan dan jelaskan bahwa kontribusi mereka dalam membantu anaknya dalam pendidikan dipandang penting bagi pendidikan anak dan perkembangannya. Melalui keterlibatan pribadi, anda dapat membantu orang tua merasa bahwa kerjasama mengenai aktivitas sekolah anaknya adalah berguna dan penting.


Bantu orang tua memahami bagaimana mereka dapat meningkatkan proses belajar anaknya di sekolah.
Bantu orang tua memahami bagaimana kerjasama antara anda sebagai guru dengan orang tua dapat berkontribusi bagi pendidikan yang lebih baik untuk anaknya. Jelaskan pentingnya anak merasakan adanya hubungan yang erat antara anda sebagai guru dengan orang tua – bahwa anda dan orang tua memiliki pemahaman yang sama mengenai tugas dan pendekatan sekolah dan bahwa anda akan bekerja sama untuk memecahkan masalah agar pendidikan menjadi yang terbaik bagi anak. Bantu orang tua memahami maksud pengajaran yang diberikan di sekolah dan tunjukkan bahwa dengan membantu anaknya dalam pekerjaan rumah, mereka dapat meningkatkan kontak dengan anaknya dan bahwa anak mereka akan lebih bahagia di sekolah dan di rumah.


Bantu orang tua merasa bahwa mereka penting dan dapat memberikan kontribusi secara positif pada pendidikan anaknya.
Bantu orang tua menemukan bagaimana mereka dapat berpengaruh positif terhadap kesejahteraan dan pembelajaran anaknya di sekolah. Anda dapat mencapai ini dengan menjalin ikatan saling percaya dengan orang tua yang membuat kerjasama terbuka dan alami. Dengan terbuka terhadap masukan aktif dari orang tua akan membuat anda bekerja dengan mereka untuk menentukan apa yang dapat mereka kontribusikan dan bagaimana mereka dapat membantu memperbaiki situasi anaknya. Dengan memobilisasi sumber-sumber yang dimiliki orang tua melalui kerjasama yang positif dan saling percaya, anda dapat membantu meningkatkan rasa tanggung jawab orang tua dan keterampilannya dalam membesarkan, mendidik dan mensejahterakan anak.
Berbagai cara bekerjasama dengan orang tua
Pentingnya kerjasama dengan sekolah dan orang tua baru menjadi fokus sekitar dua puluh tahun terakhir ini. Kini dipandang penting bahwa kehidupan sehari-hari anak merupakan sebuah kesatuan yang bermakna, dengan sesedikit mungkin kontradiksi dan konflik yang terjadi. Ini berlaku tidak sedikit pada hubungan antara sekolah dan rumah yang dalam tahun pembentukan yang penting antara umur 6 sampai 16 membantu membentuk kepribadian, minat dan kemampuan praktis-teoritis anak. Ini merupakan perspektif utama dalam hubungan kerjasama antara orang tua dan guru, dan hal ini menggarisbawahi pentingnya kerjasama orang tua-guru bagi pembelajaran dan perkembangan sosial anak.

Walaupun sebagian besar publikasi tentang sekolah dan pentingnya sekolah bagi perkembangan anak menekankan pentingnya kerjasama orang tua, tetapi sedikit yang telah dilaksanakan untuk memfasilitasi perluasan hubungan orang tua-guru. Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, masih biasa untuk menyelenggarakan hanya dua konferensi bagi orang tua dan guru – satu pertemuan pada musim semi dan satu lagi pada musim gugur – yang merupakan orientasi satu arah mengenai rencana pengajaran dan metode pelaksanaannya di mana kerjasama dari orang tua diharapkan. Pengalaman umum menunjukkan bahwa pertemuan orientasi tersebut mempunyai nilai informasi tertentu tetapi sedikit berpengaruh pada jalinan kontak dan kerjasama dengan orang tua. Di samping itu, secara individual, orang tua sering kali diundang untuk berdiskusi secara akademik mengenai pendidikan anaknya sekali atau dua kali setahun. Walaupun diskusi pribadi ini dapat berfungsi sebagai pengantar bagi kerjasama yang lebih dekat, tetapi jarang sekali ditindaklanjuti oleh guru. Jika melibatkan kebutuhan khusus atau ada masalah, pada umumnya hal itu diserahkan kepada profesional dan lembaga spesialis. Terdapat variasi dalam kadar keterlibatan dan peranan guru di dalam kerjasama tersebut.

Tindakan pencegahan dan individual untuk mencegah masalah sekolah yang dapat dengan mudah berkembang dalam hubungan kerja yang baik antara guru dan orang tua, jarang dilaksanakan dalam praktek aktivitas sekolah sehari-hari. Orang tua yang “berkebutuhan khusus” sering merasa tidak nyaman dalam pertemuan atau diskusi kelas yang dilaksanakan di sekolah. Rasa harga diri yang rendah, rasa bersalah dan rasa tidak aman sering mengarah pada ketegangan yang menghambat kontak dengan para orang tua lain dan sering mendistorsi informasi yang diberikan. Jarang ada kesempatan untuk berhubungan dengan guru dalam konteks ini. Oleh karena itu bukan tidak biasa bahwa mereka yang paling membutuhkan pertemuan tersebut malahan yang paling enggan untuk datang. Demikian juga mereka yang paling membutuhkan pertemuan tersebut tidak selalu datang bila diminta untuk pertemuan pribadi di sekolah dengan guru anaknya, atau mereka merasa bahwa pertemuan tersebut tidak menyenangkan, sehingga mereka tidak mengambil manfaatnya dari situ. Ini alasan yang penting merngapa guru harus mengatur pertemuan dengan “orang tua yang berkebutuhan khusus” di rumah mereka, dalam situasi tertentu sampai hubungan dapat dijalin. Di rumah, orang tua berada pada wilayahnya sendiri di mana mereka merasa lebih aman, dan kenyataan bahwa guru cukup tertarik untuk datang akan membuat mereka merasa lebih mudah untuk mencurahkan isi hatinya. Guru dapat memanfaatkan pertemuan seperti ini untuk berfokus pada kualitas interaksi sebagaimana dijelaskan di atas.

Cara kedua untuk bekerja dengan orang tua adalah melalui kelompok orang tua. Ini adalah metode yang jarang dipergunakan di sekolah-sekolah. Namun demikian, metode ini telah mencapai hasil yang baik bagi orang tua yang mempunyai anak yang menyandang kecacatan. Tentu saja kelompok orang tua seperti ini terdiri dari para relawan. Pertemuan ini dapat diselenggarakan atas inisiatif sekolah dan diatur oleh guru, tetapi, jika memungkinkan, sebaiknya difasilitasi oleh orang tua yang berpengalaman. Diskusi kelompok ini harus membahas tema yang disetujui oleh para orang tua. Tema dapat juga diperkenalkan oleh tamu ahli, tetapi diskusi dan pertukaran pengalaman harus dipimpin oleh orang tua yang telah setuju memfasilitasi kelompok itu. Tema dalam kelompok tersebut bervariasi tergantung minat dan kebutuhan kelompok. Misalnya, tema dapat dikaitkan dengan pengajaran dan situasi sosial di kelas atau masalah pengasuhan anak, situasi anak di luar sekolah, dll. Bila tema itu terkait dengan sekolah, pengajaran dan situasi anak di sekolah, maka sebaiknya guru atau staf sekolah lainnya yang relevan diundang untuk diskusi yang membahas pendapat yang muncul. Pengalaman yang relevan dengan kerjasama orang tua jenis ini dapat dilihat dalam laporan intervensi dini dan dari kelompok “pemberdayaan” bagi anak dan orang tua yang terpingggirkan yang berkebutuhan khusus. Penggunaan pendekatan berorientasi sumber untuk kerjasama orang tua menunjukkan dampak positif dalam kaitannya dengan keterlibatan orang tua dan kesejahteraan serta kegiatan belajar anak.

Pentingnya keterlibatan aktif orang tua di sekolah.
Keterlibatan orang tua akan:

Membuat orang tua sadar akan efek positif yang telah mereka buat terhadap anaknya, bagaimana dan apa yang mereka lakukan bersama di rumah mempunyai pengaruh dan berhubungan dengan pekerjaan anak di sekolah, dan bahwa sekolah dan rumah bukan merupakan dua dunia yang berbeda bagi anak.
Membuat orang tua menyadari bahwa apa yang mereka lakukan, sendiri ataupun bersama anaknya, adalah penting bagi pembelajaran dan perkembangan anak di rumah dan sekolah.
Mengundang orang tua untuk berpartisipasi dalam diskusi tentang pekerjaan sekolah anak, mengenai pengajaran yang diterima anak, mengenai PR, dan mengenai cara yang dapat dilakukan orang tua untuk membantu agar pengajaran lebih menarik dan relevan bagi kehidupan sehari-hari anak.
Membantu orang tua melihat bahwa cara mereka berinteraksi dengan anaknya di rumah mempengaruhi kesejahteraan, kebahagiaan, keterlibatan dan perkembangan sosial dan akademik anak. Menghargai pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak dan dalam perkembangan psikososial anak adalah sangat penting untuk kerjasama antara sekolah dan rumah. Khususnya dari perspektif pencegahan hal ini penting untuk ditekankan.
Mengembangkan wawasan guru dan sekolah tentang kehidupan anak sehari-hari, baik di dalam maupun di luar sekolah, sehingga menciptakan dasar yang lebih baik bagi hubungan antara keduanya dan meningkatkan relevansi aktivitas sekolah. Penting untuk mengalokasikan lebih banyak waktu bagi kerjasama orang tua-guru untuk mengurangi masalah psikologis yang banyak dihadapi anak dan remaja masa kini. Wawasan, inisiatif, pengalaman dan kreatifitas orang tua harus diperhatikan dalam kerjasama orang tua-guru agar pengalaman anak disekolah terintegrasikan secara bermakna dan relevan ke dalam kehidupan sehari-harinya.
Argumen prinsip untuk mengambil langkah-langkah guna mencegah masalah-masalah psikososial
Berdasarkan penelitian di Barat, situasinya dapat dirangkum sebagai berikut.

Frekuensi masalah-masalah psikososial pada anak dan remaja adalah tinggi, sekitar 20% di negara-negara Barat.
Hanya sebagian kecil dari anak dan remaja ini, sekitar 10-15%, yang diberi perlakuan..
Gangguan psikososial yang serius, yang sebelumnya diasumsikan dapat terkoreksi dengan sendirinya, kini ternyata hanya ternormalisasikan pada 50% dari keseluruhan kasus yang ada.
Permasalahan psikososial yang terjadi pada masa dini biasanya berlanjut terus ketika anak tumbuh. Misalnya masalah yang terjadi pada saat anak berusia dua hingga tiga tahun berlanjut hingga anak berusia delapan hingga dua belas tahun. Hal ini terutama berlaku pada anak yang mengalami gangguan perilaku yang parah. Masalah ini sering berlanjut hingga masa dewasa dalam bentuk perilaku anti-sosial.
Perkembangan penting dalam pengetahuan sebagaimana dikemukakan di atas sejak tahun 1985 adalah sebagai berikut:

Kesadaran bahwa intervensi yang didasarkan atas upaya-upaya untuk meningkatkan hubungan antar pribadi antara pengasuh dan anak memberikan hasil terbaik. Program pendidikan yang hanya didasarkan atas informasi memberikan hasil yang kurang memuaskan.
Pengetahuan bahwa perbaikan dalam komunikasi dini antara pengasuh dan anak, dan peningkatan hubungan di antara keduanya, merupakan isi terpenting dari program-program yang berhasil dalam hal dampak jangka panjangnya terhadap perilaku bermasalah pada anak usia 7, 12, dan 15 tahun. Juga penting dalam kaitan ini adalah:
Menyadari cara-cara tertentu yang dilakukan anak untuk mengekspresikan dirinya serta pentingnya merespon terhadap upaya-upaya anak untuk berkomunikasi, dan
Meningkatkan rasa percaya diri para orang tua serta para pengasuh lainnya dan meningkatkan kemampuanya untuk mengasuh anaknya.
Penelitian menunjukan bahwa faktor-faktor resiko lainnya, seperti kemiskinan, mempengaruhi anak melalui hubungan yang buruk antara pengasuh dan anak. Sebuah pendekatan baru dalam intervensi dini adalah bahwa orang membantu sang ibu untuk sadar akan anaknya dan membantunya mengikuti aktivitas anaknya yang spontan dan tak terpengaruh. Ibu itu menggunakan dirinya sebagai instrumen tanpa dibimbing oleh orang lain. Salah satu temuan terpenting dalam penelitan mutakhir mengenai intervensi dini adalah bahwa pendekatan ini jelas menurunkan frekuensi pelecehan fisik dan seksual terhadap anak. Studi tersebut mencakup kunjungan rumah sebagai bagian yang penting dari program tersebut.

Hasil intervensi dini jangka panjang dan jangka pendek dapat dirangkum ke dalam poin-poin berikut ini:

Jangka pendek:

Memperbaiki kesehatan anak dan kesejahteraan anak pada umumnya, antara lain dengan memperbaiki gizi dan kesehatan serta mengurangi gangguan makan, kecelakaan dan pelecehan. Pada umumnya ini penting bagi anak yang lahir dengan berat badan rendah. Bagi orang tua, intervensi ini sering berimplikasi melanjutkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan, menerima lebih banyak bantuan dari lembaga pemberi bantuan, memperbaiki citra diri, dan memperbaiki hubungan dengan anak dan pasangannya.

Jangka panjang:

Anak-anak menunjukkan penyesuaian diri dan perkembangan yang lebih baik;
Berkurangnya masalah agresi dan kurang konsentrasi;
Berkurangnya perilaku kriminal;
Pendidikan dan pembelajaran yang lebih baik.
Situasi orang tua menunjukkan:

Kondisi dan penyesuaian diri terhadap pekerjaan lebih baik;
Pendidikan dan kesejahteraan mental lebih baik;
Intervensi dini untuk mencegah masalah perilaku

Mengapa tindakan pencegahan masalah perilaku itu penting?

Masalah perilaku sangat serius bagi individu, keluarga dan masyarakat.
Bagi anak laki-laki, masalah perilaku merupakan penyebab utama dirujuknya mereka ke pusat layanan anak dan perawatan psikiatrik.
Terdapat hubungan kuat antara gangguan perilaku pada masa kanak-kanak dengan perilaku kriminal pada masa remaja dan dewasa.
Gangguan perilaku sikap di masa remaja sulit untuk ditanggulangi dan hasilnya tidak begitu memuaskan.
Kini memungkinkan untuk mengidentifikasi secara dini perilaku yang dapat mengarah pada masalah perilaku yang serius. Antara lain kita tahu bahwa meningkatnya agresi dan berkembangnya perilaku sosial yang mengganggu pada usia prasekolah sering mengarah pada masalah perilaku di kemudian hari. Semakin dini muncul, semakin buruk kecenderungannya. Misalnya penelitian menunjukkan bahwa temperamen sulit yang tampak pada anak usia 6 tahun, yang sebelumnya dianggap sebagai peningkatan perilaku negatif dan agresi, memprediksi masalah perilaku pada usia 8 tahun.
Intervensi yang diarahkan pada tingkat individu dan tingkat lingkungan tampaknya merupakan intervensi yang paling efektif.
Program intervensi dini yang diarahkan pada peningkatan hubungan antara pengasuh dan anak telah menunjukkan efek signifikan dalam mencegah karakteristik perkembangan yang kita tahu akan menyebabkan masalah perilaku. Berbagai temuan menunjukkan bahwa apa yang terjadi antara umur 1 dan 3 tahun adalah rangkaian perkembangan pertama yang mengarah pada gangguan perilaku dan perilaku kriminal di masa remaja dan dewasa.
Jika masalah interaksi dibiarkan berlangsung terus hingga lewat usia 3 atau 4 tahun, masalah tersebut akan menjadi permanen. Misalnya, terdapat hubungan yang jelas antara perilaku agresif dan anti-sosial pada anak kecil dan mereka yang baru masuk sekolah dengan perilaku anti-sosial dan agresif pada masa remaja.
Demikian pula, terdapat hubungan yang jelas antara kesedihan dan kesepian yang berkepanjangan pada anak kecil dan mereka yang baru masuk sekolah dengan perkembangan depresi pada masa dewasa. Penelitian baru-baru ini mengenai efek perlakuan psikiatrik terhadap remaja tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.
Terdapat lima jenis faktor beresiko yang saling berkaitan yang dapat menyebabkan ganguan perilaku:

Kondisi biologis, misalnya temperamen, gender, hiperaktivitas, dan masalah kognitif dan bahasa.
Kondisi sosial, misalnya kemiskinan, etnis, perumahan yang sangat padat.
Masalah keluarga, misalnya perselisihan dan stres (penyalahgunaan alkohol, depresi, masalah perkawinan).
Praktek pengasuhan dan perawatan anak yang tidak baik (kaku, tidak bersahabat, keliru, perlakuan kasar)
Masalah dalam interaksi dini antara orang tua dan anak, ikatan kasih sayang yang tidak kokoh pada anak, yang dapat mengembangkan pengalaman hubungan dengan orang lain yang ditandai dengan kemarahan, ketidakpercayaan, kekacauan, atau tidak konsisten dan merasa tidak aman. Ini sering merupakan latar belakang bagi sifat agresif pada anak. ( Kementerian Kesehatan dan Sosial Norwegia 2000; Fonagy 1996; laporan WHO 1999; Steinhausen & Verhulst 1999).
Perlunya intervensi dini dalam masyarakat dewasa ini.
Laporan penelitian dari negara-negara barat tentang frekuensi masalah psiko-emosional, khususnya pada anak 10-15 tahun yang lalu, dibanding laporan baru-baru ini, menunjukkan peningkatan yang jelas dalam frekuensi dari 10-12% menjadi 20% atau lebih. Di samping itu, terdapat anak yang karena masalah perkembangan dan fungsional yang hakikatnya biologis, beresiko untuk mengembangkan masalah interaksi yang fungsional dan mengganggu belajarnya. Jika kita batasi kategori “masalah psikososial” pada anak yang telah didiagnosis sebagai membutuhkan bantuan, maka setidaknya kita berbicara tentang 10% anak dan remaja.

Ini merupakan bukti yang jelas bahwa meningkatnya gelombang masalah psikososial pada anak-anak dan remaja tidak dapat diatasi dengan perangkat bantuan standar seperti layanan anak. Untuk alasan ini, program bimbingan orang tua di Norwegia dibangun. Gagasannya adalah bahwa pusat-pusat layanan kesehatan, pusat pengasuhan anak, dan sekolah, akan difungsikan sebagai arena penting untuk upaya pencegahan dan intervensi dini serta intervensi bagi anak-anak usia sekolah. Para staf akan diberikan pelatihan untuk meningkatkan interaksi antar pribadi, agar mereka dapat lebih baik dalam memberikan bimbingan sistematis kepada orang tua mengenai cara yang terbaik untuk membantu perkembangan anaknya.

Upaya pengembangan program diawali pada tahun 1995 tetapi masih jauh dari selesai. Masih banyak yang harus dilakukan untuk mengadaptasikan program tersebut secara efektif ke dalam berbagai arena. Terutama masih banyak yang harus dilakukan untuk membenahi peran guru dan sekolah, sebagaimana yang telah dibahas pada bab ini.

Rangkuman mengenai pentingnya mengambil tindakan sedini mungkin

Terdapat alasan untuk meyakini bahwa perkembangan anak itu lebih lentur pada masa awal kanak-kanak dibanding yang kita sadari sebelumnya.
Perkembangan seorang anak tidak ditentukan satu kali dan untuk selamanya oleh pengalaman dini tertentu, tetapi pengalaman yang berlangsung lama tampaknya merupakan fondasi bagi pola perkembangan jangka panjang yang mencakup fungsi sosial, emosional dan kognitif.
Lingkungan anak pada umumnya memiliki kecenderungan tetap sama bila menyangkut karakteristik dasar interaksi antar pribadi dan kondisi seputar pengalaman dan belajarnya. Bila aspek-aspek penting dari awal dunia pengalaman psikososial anak menimbulkan resiko tidak kokohnya ikatan kasih sayang, dan buruknya interaksi, sangat terbatasnya kesempatan dan terbatasnya komunikasi pembelajaran dalam artian yang paling umum, maka intervensi dini dapat berpengaruh signifikan terhadap perkembangan anak jangka maupun jangka pendek.
Semakin dini intervensi dilakukan, akan semakin besar pula pengaruh upaya-upaya pencegahan terhadap masalah psikososial yang lebih serius.
Oleh karena itu intervensi dini memberi manfaat bagi kehidupan pribadi maupun sosio-ekonomi.
Berdasarkan pengetahuan yang kita miliki saat ini mengenai kesempatan untuk mencegah dan mengoreksi perkembangan psikososial sesegera mungkin, intervensi dini terhadap interaksi antara pengasuh dan anak harus diberikan prioritas tertinggi dalam layanan sosial dan kesehatan kita. Disini pusat layanan kesehatan dapat memegang peranan penting.
Panti asuhan anak dan sekolah juga merupakan arena penting di mana intervensi korektif dapat berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan lebih lanjut.
Intervensi dini juga harus mencakup aspek-aspek lingkungan yang penting di mana anak tumbuh, dan harus berdasarkan sumber-sumber yang dimiliki oleh pengasuh maupun anak, dan upaya untuk membanggunnya harus dalam kerangka kehidupan sehari-hari anak, gaya hidup dan nilai-nilai dasar yang dianutnya.
Kualitas interaksi dalam perspektif pengasuhan
Beberapa masalah utama yang dihadapi anak dan remaja terkait dengan agresi, kecemasan dan depresi yang sering termanifestasikan dalam masalah perilaku, ketegangan fisik atau penarikan diri dan perasaan tak berdaya. Frekuensi bunuh diri di kalangan orang muda telah menunjukan kecenderungan yang meningkat pada tahun-tahun terakhir ini (Kementerian Kesehatan dan Sosial Norwegia).

Kualitas dalam interaksi – sebagaimana yang digambarkan dalam kedelapan prinsip bimbingan dan dalam adaptasi dalam tema-tema yang terkait dengan anak-anak usia sekolah – dan kualitas dalam sikap orang tua yang “otoritatif”, sebagaimana dijelaskan di atas, dapat ditempatkan pada perspektif pengasuhan. Kualitas interaksi itu sendiri hanya sedikit berbicara tentang tujuan dan isi pengasuhan anak oleh orang tua. Kualitas tersebut terutama menunjukkan elemen-elemen fondasi dasar yang harus dibina dan dibangun untuk mengembangkan hubungan pribadi yang baik antara pengasuh dan anak. Hubungan seperti ini penting bagi pengembangan kehidupan emosional yang sehat, rasa percaya diri, wawasan, kemampuan, sikap positif terhadap orang lain, dan individuasi. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa hubungan positif seperti ini tidak dibangun atas dasar vakum budaya atau sosial, serta bukan merupakan proses yang terlepas dari nilai-nilai yang berlaku. Perkembangan manusia selalu terjadi dalam konteks sosial dan budaya, di mana anak dan remaja menyerap, memodifikasi dan membentuk kembali, untuk kerangka acuannya sendiri, sikap pribadi, persepsi, nilai dan refleksi diri dari orang-orang di sekitar mereka.

Jumlah yang menggelisahkan dan terus meningkat dari anak dan remaja dengan masalah penyesuaian yang serius yang dapat kita ketahui kini menunjukkan bahwa hal yang sangat kurang pada mereka adalah perkembangan hubungan baik. Yang dijelaskan di atas merupakan kebutuhan psikososial yang mendasar, seperti dilihat, ditemui, dimengerti, diterima dan diakui. Kualitas-kualitas interaksi yang dijelaskan sebelumnya tepat untuk mengkomunikasikan penguatan positif yang dapat memenuhi kebutuhan psikososial yang fundamental ini. Keintiman dan empati yang terkandung dalam kualitas-kualitas interaksi sebagaimana disebutkan di atas, harus juga dapat mengarah secara alami pada sebuah hubungan yang ditandai oleh rasa percaya diri dan rasa memiliki dan dimiliki.

Kemampuan untuk menjalin hubungan yang intim dan saling percaya merupakan prasyarat bagi pengembangan kemampuan untuk mempercayai orang lain dan merasa memiliki/dimiliki. Kemampuan untuk mempercayai dan merasa memiliki/dimiliki ini terbentuk selama masa kanak-kanak dan remaja, dan merupakan hal yang sangat penting dalam interaksi orang dewasa. Di dunia barat – dan juga di sejumlah masyarakat lain, sikap individualistik, promosi diri dan sikap kompetitif telah menjadi karakteristik dasar orientasi sosial kami. Ini tampaknya terkait dengan fokus yang kuat pada nilai materi dan kemampuan untuk melebihi orang lain. Dorongan emosional yang memperkuat orientasi seperti ini jelas terkait dengan sikap hidup yang ditandai oleh egoisme dan keserakahan, atau kemarahan dan kebencian bila hidup tidak seperti yang diharapkan. Bila perasaan seperti ini dominan, maka konsekuensinya dapat destruktif, baik bagi kebahagian individu yang bersangkutan maupun bagi kesehatan dan kehidupan sosialnya. Orientasi ini sering diasosiasikan dengan nilai-nilai gaya hidup yang dangkal, di mana konsumsi dan kenikmatan adalah fokusnya, yang sering kali dikombinasikan dengan efek negatif dari industri hiburan yang berorientasi agresi dan kekerasan.

Sikap hidup seperti ini, yang kini menandai banyak aspek kehidupan masyarakat barat, dan juga menjadi semakin lebih umum di masyarakat kota di beberapa bagian lain dunia, tidak diragukan lagi mempunyai konsekuensi negatif bagi anak dan remaja dari lingkungan yang kurang interaksi positif untuk menangkal pengaruh tersebut. Penangkal untuk ekspresi kemarahan dan frustrasi pada anak dan remaja itu terkait dengan lingkungan pertumbuhan yang sehat dan pesan-pesan positif dari masyarakat di sekitarnya. Dalam sebuah wawancara dengan psikiatris Dr. Culter, Dalai Lama menyatakan bahwa penangkal yang paling penting terhadap kemarahan, kebencian, egoisme dan keserakahan adalah rasa simpati, kesabaran dan toleransi. Sifat-sifat manusia ini tidak dapat dengan mudah dipelajari pada masa dewasa bila sifat-sifat yang sebaliknya telah menduduki posisi kunci dalam struktur kepribadian seseorang. Oleh karena itu, kita berharap agar nilai-nilai kunci kemanusian tersebut dapat difokuskan lagi sebagai kualitas penting dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Nilai-nilai tersebut merupakan alat yang esensial untuk menangkal dehumanisasi yang diekspos kepada orang tua, anak-anak dan remaja dalam masyarakat kita kini.

Penutup
Kini terdapat banyak hasil penelitian yang mendokumentasikan pentingnya kualitas hubungan antar pribadi bagi perkembangan dan pembelajaran anak, khususnya yang terkait dengan peningkatan perkembangan dan pembelajaran pada anak yang rentan akan masalah psikososial.
Merupakan sebuah tantangan besar bagi kita untuk mengubah tren yang menyedihkan dalam masalah psikososial yang terdapat di bagian dunia kita. Pencegahan dan intervensi sedini mungkin pada usia sekolah dan prasekolah harus diprioritaskan, dan rumah, pusat layanan kesehatan, panti asuhan anak dan sekolah harus menjadi fokus utama tempat pelaksanaan upaya tersebut. Mudah-mudahan para petugas kesehatan, guru prasekolah, guru sekolah dan para pengasuh di panti-panti asuhan anak akan memandang ini sebagai bidang investasi yang penting di samping tugas-tugas tradisional. Persepsi tentang perkembangan dan pembelajaran yang diorientasikan pada interaksi harus menjadi “bilangan penyebut” bagi upaya pencegahan bagi anak dan remaja, dan untuk meningkatkan rasa kompetensi bagi orang dewasa yang berinteraksi dengan generasi muda dan mendukung perkembangannya.

Daftar Pustaka

Ainswort, M.D.S.; Bell, S.M.V. & Stayton, D.J.. 1971. Individual differences in strange-situation behaviour of one-year old. In H.R. Schaffer, (Ed.), The Origins of Human Social Relations. London, Academic Press.
Ainsworth, M.D.S.; Blehar, M.C.; Waters, E. & Wall, S.. 1978. Patterns of Attachment. New Jersey, Lawrence Erlbaum Assoc.
Anderson, G.C. 1995. Touch and the Kangaroo Care Method. In T.Field (Ed.). Touch in Early Development. Mahwah, New Jersey, Lawrence Erlbaum Associates.
Badger, E.. 1981, Infant – Toddler: Introducing your child to the joy of learning, Instruction/McGraw – Hill.
Bateson, M.C.. 1975. Mother – Infant Exchanges: The epigenesist of conversational Interaction. Annals of New York Academy of Science, 263, 101- 113.
Baumrind, D. & Black, A.E.. 1967. Socialisation practice associated with dimensions of competences in pre-school boys and girls. Child Development, 38, 291-327.
Berkowitz, L.. 1993. Aggression, Its Causes, Consequences and Control. McGraw, Hill, Inc.
Bowlby, J..1969. Attachment. New York, Basic Books.
Bowlby, J.. 1988. A Secure Base London, Routhledge.
Brazelton, T.B..1995. Fetal Observations: Could they relate to another modality, such as touch? I T. Field (Ed.): Touch in Early Development. Experiments by Nature and Design. Cambridge, Harvard University Press.
Bruner, J.. 1975. From Communication to language. Cognition, 3, 255-287.
Bruner, J.. 1990. Acts of Meaning. London, Harvard University Press.
Bryant, D.M. & Ramey, C.T..1987. An analysis of the effectiveness of early intervention programs for environmentally at-risk children. In M.J. Gulalnick, F.C.
Bennett (Eds.), The effectiveness of early intervention for at-risk and handicapped children. San Diego, CA, Academic Press.
Carew, J.V.. 1980. Experience in the development of intelligences in young children at home and in day care. Monographs of the Society for Research in Child Development, 45, 6-7, serial No. 187.
Collins, W.A..1984. Family interaction and child development. In M. Pearlmutter
(Ed.), Parent-Child interaction and parent-child relations in child development. The Minnesota Symposia on Child Psychology, Vo. 17. 241-258. Hillsdale, N.J, Lawrence Erlbaum.
Dornbussch, S.M.; Ritter, P.L.; Leiderman, P.H.; Roberts, D.F. & Fraleigh, M.J..1987. The relation of parenting style to adolescent school performance. Child Development, 58, 1244-1257.
Dunst, C.J., Trivette, C.M. & Deal, A..1988. Enabling and empowering families: Principles and guidelines for practice. Cambridge, MA, Brookline Books.
Dunst, C.J., Trivette, C.M..1987. Enabling and empowering families: Conceptual and intervention issues. School Psychology Review, 16(4), 443-456.
Faureholm, J. & Blæhr, M..2000. ”Empoverement” I Sæby Kummune.
Evaluerings-rapport. Sæby Kummune, Danmark
Faureholm, J..1997. Paulo Freire - i Gjellerupparken og på de bonede gulve I Dansk Industri, Dansk Pædagogisk Tidsskrift, nr.1
Faureholm, J.; Lynge Brönholt, L. Blæhr,M..1999. Farælderompetence i udsatte familier. Århus, Danmark, Systime.
Feuerstein, R.; Klein, P.S. & Tannenbaum, A.J..1991. Mediated Learning Experience (MLE): Theoretical Psychosocial and Learning Implications. London, Freund Publishing House, LTD.
Fonagy, P..1996. Prevention, the appropriate target of infant psychotherapy? Finland Presentation at International Conference of Child and Adolescent Psychiatry.
Freire, P..1973. De undertryktes pædagogikk. Danmark , Chr. Ejlers Forlag.
Gallagher, J.J..1990. The family as a focus of intervention. In S.J. Meisels & J.P. Shinkoff Eds), Handbook of Early Childhood Intervention. Cambridge, Cambridge University Press.
Gorrfried, A.W..1984. Home environment and early cognitive development: Integration, meta-analysis, and conclusions. In A.W. Gottfried (Ed.), Home environment and early cognitive development 329-342. Orlando, FL., Academic Press.
Greenspan, S.J. & Wieder, S..1998. Children with Special Needs. Encouraging Intellectual and Emotional Growth. Reading, Massachusetts, Merloyd Lawrence.
Guralnick, M.J..1989. Recent Development in Early Intervention Efficacy Research: Implications for Family Involvement. Topics in Early Childhood Special Education, 9: 3. 99-457
Harlow, H.F. & Harlow, M.K..1962. Social Deprivation in Monkeys. Scientific American, 207, 136-144.
Harlow, H.F..1958 The Nature of Love. American Psychologist, 13, 673-685,
Hess, R.D. & Shipman, V.C..1968. Maternal influences upon early learning: The cognitive environments of urban preschool children, In R.D. Hess & R.M. Baer (Eds.) Early education, current theory, research and action. Chicago, Aldine.
Hundeide, K..1996. Ladet samspill. Nesbru, Vett og Viten.
Hundeide, K..1999. Samspill i skolen, samspill foreldre – skolebarn. Kirke-, Utdanningsog Forsknongsdepartementet.
Hunt,M..1982. Towards Solutions of Early Education. In N. Nir-Janiv; B. Spodek & D. Steg, (Ed.), Early Childhood Education. London Plenum Press.
Klein, P.S..1992. Cognitive and emotional interplay in early development: Mediational role of parents. Advances in Cognition and Educational Practice, V. 1A, 169-194.
Klein P.S. (Ed.).1996. Early Intervention: Cross-Cultural Experiences with a Mediational Approach. New York, London, Garland Publishing, Inc.
Kozulin, A..1998. Psychological Tools. A Socio-cultural approach to education. Cambridge, Mass., Harvard University Press.
Kramer, B.S.; McGonigel, M.J. & Kaufmann, R.K..1991. Developing the IFSP: Outcomes, Strategies, Activities, and Services. In M.J. McGonigel; R.K.
Kaufmann & B.H. Johnson, (Eds.). Guidelines and Recommended Practices for the Individualized Family Service Plan. Bethesda, Maryland, Association for the Care of Children’s Health.
Lamborn, S.D.; Mounts , N.S.; Steinberg, L. & Dornbusch, S.M..1991. Patterns of competence and adjustment among adolescents from authoritative, authoritarian, indulgent and neglectful families. Child Development, 62, 1049-1965.
Lombard, A..1981. Success Begin at Home. Lexington, Mass.: D.C. Health & Co.
McGonigel, M.J.; Kaufmann, R.K. & Johnson, B.H..1991. Guidelines for Recommended Practices for the Individualized Family Service Plan. Association for the Care of Children’s Health. Bethesda, Maryland.
Montessori, M..1964. Spontaneous Activity in Education. Cambridge, Mass., Robert Benrley Inc.
Newson, J..!979. International behaviour in young infant. In D. Schaffer & J. Dunn, (Eds.). The First Year of Life. Chichester, Wiley & Sons.
Papousek, J. & Papousek, M..1977. Mothering and the cognitive head start: psychobiogical considerations. In H.R. Scharger, (Ed.). Studies in Mother – Infant Interaction. London, Academic Press.
Piaget, J..1952. The Origins of Intelligence in Children. New York, Int. Univ. Press.
Rogers, C..1951. Client-centered Therapy. Boston, Houghron Mifflin Co.
Rogers, C..1983. Freedom to Learn for the 80’s. Columbus, Charles E. Merrill Publishing Comp.
Rye, H..1993. Tidlig hjelp till bedre samspill. Oslo, Universitetsforlaget.
Rye, H..1996. 3 bøker for amsorgsgivere: 0-1 år “”Du og jeg”l 1-3 år: “Sammen ut i verden”, “Samspill, selvstendighet og samarbeid”. Oslo, Vett og Viten.
Rey, H..1996. Early Intervention in Psychosocial Development: Experience from a project in Ethiopia. Report to the Norwegian Research Council. Oslo, Oslo University.
Shelton, T., Jeppeson, E. & Johnson, B.H..1987. Family-Centered Care for Children with Special Care needs. Washington, DC, Association for the Care Children’s Health.
Shonkoff, J.P. & Meisels, S.J..1990. Early Childhood intervention: The evolution of a concept. In S.J. Meisels & J.P. Shonkoff, (Eds.). Handbook of Early Childhood Intervention. Cambridge, Cambridge University Press.
Sinnets Helse.1996. Hjem/Skole og TV – vold. “Sinnests Helse”, 4/96,76. nr.172. Social – og Helsedepartementet.2000. Faktarapport om årsaker til psykiske plager og lidelser”. Social – og Helsedepartementet, Norge.
Steinberg, L.; Dornbusch, S.M. & Brown, B.B..1992. Ethnic differences in adolescent achievement: An ecological perspective. American Psychology, 47, 723-729.Steinhausen, H. & Verhulst, F.C. (Eds.). 1999. Risks and outcomes in developmental Psychopathology. Oxford University Press.
Stern, D..1985. The Interpersonal World of the Infant: A view from psychoanalysis and developmental psychology. New York, Basic Books.
Stern, D..1995. The Motherhood Constellation. New York. Basic Books.
Trewarthen, C..1984. Emotions in Infancy: Regulators of contacts and relationships with persons. In K. Scherer & P. Enran (Eds.). Approaches to Emotion. Hillsdale, Lawrence Erlbaum Associate.
Trewarthen, C..1988. Universal co-operative motives: How infants begin to know the language and culture of their parents. In G. Jahoda & I.M. Lewis, (Eds.). Acquiring Culture: Cross-Cultural Studies in Child Development. London, Croom Helm.
Tronick, E.Z.. 1989. Emotions and emotional communication in infants. American Psychologist, 44, 112-129.
Tronick, E.Z..1995. Touch in Mother-Infant Interaction, In T.M. Field, (Ed.). Touch in Early Development. Mahwah, New Jersey, Lawrence Erlbaum Associates.
Vygorsky, L.S..1978. Mind in Society. Cambridge, Harvard University Press.
WHO rapport.1999. A critical links: Interventions for physical growth and psychological development. Geneva, World Health Organization.
Aarts, M..1988. ORION – Home training. Weert, ORION.
http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=771
http://www.e-smartschool.com/uot/001/UOT0010055.asp
http://www.idp-europe.org/indonesia/buku-inklusi/Membantu_Anak_dan_Keluarga_yang_Berkebutuhan






Footnotes

1 “Sikap Authoritarian” mengacu pada gaya mendidik berdasarkan pada pengajaran dan perintah dibanding pada saling pengertian dan kolaborasi.
“Sikap Authoritative” mengacu pada orang dewasa menjadi contoh atau model yang baik bagi anak, menunjukkan secara jelas pemahaman, nilai-nilai dan pendiriannya yang tercermin dalam kehidupan sehari-harinya. (1991; Steinberg et al. 1992; Baumrind & Black 1967; etc.).